"Tidak ada yang terjadi kecuali Anda memimpikannya terlebih dahulu (nothing happens unless first a dream)," kata Carl Sandburg. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan impian adalah adalah titik awal sebuah prestasi. Berdasarkan pengalaman pribadi dan dari apa yang saya pelajari ada sejumlah tahap penting yang diperlukan agar sebuah impian dapat menjadi kenyataan.
Pertama, perjelas impian Anda dan tuliskan. Pada awal mula impian itu mungkin hanya berwujud angan-angan dan Anda mungkin melihatnya secara sekilas dalam imajinasi Anda. Mungkin pada saat itu Anda akan berkata dalam hati Anda, "Keadaan seperti inilah yang aku inginkan."
Jika angan-angan itu ditindaklanjuti dengan perenungan pribadi, diskusi dengan orang lain (misalnya pembimbing Anda), doa dan sebagainya angan-angan itu akan bertambah matang dan menjadi visi. Ketika ia telah menjadi visi, timbul gairah dalam diri sang empunya visi. Persis seperti yang dikatakan Bill Hybels dalam bukunya Courageous Leadership, "vision is a picture of the future that produces passion."
Seiring perjalanan waktu, visi itu akan semakin matang dan membuat Anda tidak sabar untuk segera mewujudkannya. Saran saya, buatlah visi itu menjadi sebuah target yang memiliki unsur S.M.A.R.T, yaitu:
Specific (artinya sespesifik mungkin alias tidak kabur). Misalnya Anda mengatakan ingin jadi orang kaya, Anda harus mendefinisikan secara jelas apa itu kaya. Apakah punya rumah besar, mobil mewah, popularitas atau dapat membantu sebanyak mungkin orang yang membutuhkan. Jika Anda ingin punya mobil, definisikan secara jelas mobil apa. Apakah mobil sedan, jeep, mini bus atau mobil seperti apa? Mereknya apa? Intinya, impian itu harus dapat Anda lihat jelas dalam imajinasi Anda. Tidak samar-samar!
Measurable (dapat diukur atau ada angkanya). Seorang pengusaha pernah menasehati saya, "If you can not measure it, you can not manage it." Saya rasa pernyataan tersebut sangat benar. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar setiap awal tahun selalu memasang target yang jelas mengenai peningkatan omset perusahaan, dan sebagainya. Hal ini juga berlaku bagi impian pribadi Anda. Jika Anda memimpikan sebuah rumah, Anda harus mendefinisikan rumah seharga berapa yang ingin Anda beli, luasnya berapa atau kredit berapa lama? Begitu pun kalau Anda memimpikan mobil, harganya berapa, berapa cc, dan seterusnya.
Achievable (dapat Anda raih). Buktinya sudah ada orang yang meraihnya saat ini atau jika belum ada yang meraihnya, paling tidak hal tersebut logis menurut Anda. Mengapa? Karena bisa jadi, Andalah orang pertama yang meraih hal tersebut. Seperti ketika Orville dan Wilbur Wright berhasil menemukan pesawat terbang padahal sekitar tiga puluh tahun sebelumnya ayah mereka yang kebetulan seorang pendeta dengan tegas menyatakan, tidak mungkin manusia bisa terbang. "Kalau memang Tuhan menghendaki manusia terbang, tentu Ia akan memberikan sayap," kata Pendeta Milton Wright. Sesuatu yang tampaknya tidak masuk akal bagi sang pendeta ternyata dapat diwujudkan oleh kedua putranya.
Realistic (realistis). Artinya sesuai dengan sumber daya yang saat ini Anda miliki atau masih dalam kendali Anda, bukan orang lain. Sebagai contoh, impian saya untuk membuat seminar di angkasa pada awalnya tidak realistis karena saya tidak punya kenalan di maskapai penerbangan. Namun impian tersebut kemudian jadi realistis karena teman saya, Eddy Efendy, pengusaha travel yang saban bulan membawa karyawan berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia untuk berlibur ke luar negeri. Eddy juga memiliki jaringan yang sangat bagus dengan banyak maskapai penerbangan. Alhasil, dengan kerja sama yang kuat, kami dapat mewujudkan impian tersebut.
Time bound (ada batas waktunya). Artinya kapan Anda ingin itu terwujud. Saya sering menemukan banyak orang yang tidak pernah serius dengan impian mereka, termasuk menetapkan kapan mereka ingin impian mereka terwujud. Seorang teman yang sudah setahun wisuda belum juga mendapatkan pekerjaan, ketika ditanya sampai kapan ia akan menganggur, dengan santai menjawab, "Ya, gimana nanti, deh."
Target yang telah Anda tetapkan itu, hendaklah ditulis. Mengapa? Sesuatu yang ditulis akan lebih jelas dan mudah diingat. Menuliskan target Anda seperti membuat komitmen atau kontrak kepada diri Anda sendiri. Saya sendiri membiasakan diri untuk menulisnya di sebuah buku. Kadang-kadang saya suka menulisnya di selembar kertas atau buku agenda saya.
Kedua, uraikan manfaat yang bisa didapatkan jika impian itu terwujud. Jika manfaat itu bisa dituliskan, tentu akan lebih baik. Sebaiknya manfaat itu bukan hanya bagi diri Anda sendiri melainkan juga bagi orang yang paling Anda cintai, orang-orang di sekitar Anda dan sesama lainnya. Semakin besar manfaat yang bisa Anda peroleh maka Anda akan semakin bersemangat dalam menggapainya.
Ketiga, doakan impian Anda tersebut. Mintalah bantuan Tuhan sebab bagaimana pun kerasnya kita bekerja akan sia-sia jika Sang Sumber Segala Rahmat tidak memberkatinya. Terkadang impian kita tidak kunjung terwujud karena bertentangan dengan kehendak-Nya atau memang belum waktunya. Untuk itu, usahakan Anda meluangkan waktu yang cukup sehingga dapat berkomunikasi dengan-Nya mengenai impian Anda ini.
Keempat, identifikasi semua masalah atau hambatan yang kiranya akan Anda hadapi dalam rangka mewujudkan impian tersebut. Tahapan ini ibarat membuat peta perjalanan Anda semakin jelas.
Kelima, identifikasi orang, kelompok orang atau organisasi yang kiranya dapat membantu Anda mewujudkan impian tersebut. Barangkali Anda akan mendapatkan ada orang, kelompok atau organisasi yang dapat bersinergi dengan Anda bahkan bisa jadi mereka memiliki impian yang sama sehingga Anda bisa bekerja sama dengan mereka.
Secara pribadi, saya sangat menghargai data base kenalan saya. Ada beberapa album kartu nama yang saya klasifikasikan secara khusus. Misalnya album kartu nama untuk kenalan yang birokrat, pengusaha, profesional, dsb. Setiap kali saya berusaha untuk memecahkan sebuah masalah atau meraih impian yang besar, saya selalu membuka album kartu nama yang sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Keenam, identifikasi pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang sangat Anda perlukan dalam upaya untuk meraih impian tersebut. Barangkali Anda harus membaca buku-buku tertentu, mengikuti kursus, seminar atau training. Jangan ragu untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Les Brown pernah berkata, "To achieve something you have never achieved before, you must become someone you have never been before."
Ketujuh, buatlah plan of action yakni langkah-langkah yang akan Anda tempuh. Pada tahap ini, Anda perlu mengambil waktu yang cukup untuk menyusun strategi yang ingin Anda tempuh. Pada tahap ini, mungkin Anda harus memecah target Anda menjadi lebih kecil. Misalnya, kalau dalam dua belas bulan ke depan, Anda ingin menurunkan berat badan 12 kilogram, itu artinya tiap bulan Anda harus menurunkan berat badan sekitar satu kilogram. Berdasarkan itu, Anda kemudian menyusun strategi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh Anda makan, jenis olah raga apa yang harus Anda lakukan secara reguler, dan sebagainya. Bisa jadi pada tahap ini, Anda perlu berkonsultasi dengan orang yang lebih ahli.
Kedelapan, action. Jika sebuah impian memang bernilai, ia layak diperjuangkan dengan sepenuh hati. Pada tahap ini, komitmen Anda benar-benar diuji. Seorang teman pernah mengingatkan kalau jarak yang paling jauh adalah dari hati ke tangan. Banyak orang yang hatinya telah terbakar dan tergerak oleh impian, sayangnya tangannya tidak ikut bergerak. Alhasil, semuanya hanya tinggal impian semata.
Kesembilan, jaga sikap mental Anda. Tetaplah berpikir positif dan beranilah bangkit dari kegagalan. Tanggapilah setiap kritik dan masukan negatif dengan sikap bijaksana. Lupakan mereka yang bisanya hanya mengolok-olok dan meremehkan Anda. Sesuatu yang mustahil bagi orang lain, belum tentu mustahil bagi Anda.
Kesepuluh, lakukan evaluasi secara berkala. Sekiranya diperlukan perubahan, jangan ragu untuk melakukannya. Jangan kaku! Bersikaplah fleksibel dalam soal cara atau metode. Temukan, apakah ada cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu sehingga membawa Anda semakin dekat dengan impian Anda?
Sumber: Paulus Winarto
For the first eight years or so of my ministry, I managed to teach, lead, and serve without ever really flexing my heart muscle. I did it all with wit, fancy foot work, and things I had learned from one of the greatest pastors who ever lived.
I knew what a good sermon was and I could preach one; but it was all head, no heart. Most of these sure-fire, get a response sermons, were not my own. They came from others who I had read after or listened to.
I counseled many people and even helped a few. But I was shooting from the hip and never able to truly empathize. The person on the couch got some good one-liners and Hallmark card quotes, but again, there was no passion.
Melanie would often ask me, “Scott, are you happy? Are you challenged? Do you enjoy doing what you’re doing?” I don’t actually recall my response to her questions, but on the inside the answer was a definite “no.” Passion is like oil to an engine, without it you are headed for burn out.
It wasn’t until I went through an incredible breaking process in God’s hands, that I finally found passion in my ministry. The disconnect from heart to head was fixed when I was broken. By the way, I’m thankful my breaking took place in God’s hands. Matthew 21:44 tells us that we can either fall upon the stone and be broken, or the stone will fall on us and grind us to powder.
This actually brings up another thing I wish I had known when I first launched into ministry — God ministers best out of the broken places. My ministry was made and solidified through my brokenness.
People aren’t looking for someone who’s got “it” all together; and besides that, you don’t! So be real. Let people see God as He leaks through the cracks in your life.
Once I connected my heart with my ministry, sermons were no longer just great thoughts captured on tape or written down during a conference, but there was a flow out of the broken places in my heart. It was no longer head knowledge, but heart knowledge that was coming from the pulpit. People could feel the difference and lives were touched.
I remember looking at some of the people I had previously counseled and thinking I should go and apologize to them for the lame — all head, no heart — counsel I had given them. I had lived such a sheltered life I really didn’t know pain, nor did I know how to feel with others. One of the things that makes our Savior so wonderful is that He is a high-priest who can be touched by what touches us.
Let me encourage you, if you have broken places in your life, stop trying to hide the cracks. People don’t need any more fakes or facades…they need to see leadership that does not put on airs of perfection but that of humanity and humility.
Find your passion! Fall upon the stone and be broken in God’s presence. Ask God to move you with what moves Him. As the song says, “break my heart for what breaks Yours.”
Here’s a few passion observations I’d like to leave you with: