Sunday, December 27, 2009

Kunci untuk perubahan hidup

Perubahan adalah salah satu kata favorit saya akhir-akhir ini. Mengutip kata-kata dari sebuah iklan "Perubahan itu penting". dan benar sekali hal tersebut sangat penting. Dunia ini berubah begitu cepat sampai ada salah satu hukum yang berkata " Teknologi akan meningkat dua kali lipat setiap 3 tahun". Banyak bukti nyata dari hukum ini, zaman dahulu kita masih ingat bagaimana kartu pos dan surat menjadi penghubung begitu banyak orang lalu kemudian digantikan pager dan sekarang dengan HandPhone.

Suka atau tidak suka, benci atau tidak benci, mau atau tidak mau, dunia terus mengalami perubahan. Kalau seseorang tidak mau berubah maka dia akan tertinggal. Dan setiap hal di dunia ini berubah dan mungkin hanya ada satu hal yang tidak berubah yaitu perubahan itu sendiri.

Waktu malam natal, saya berkumpul dengan teman-temanku bukan kumpul-kumpul untuk makan-makan tetapi kami berkumpul untuk saling sharing / evaluasi apa sih hal yang sudah kita alami , hal yang berkesan, pelajaran apa yg diterima, apa yang sudah dicapai dalam tahun ini. Saya bersyukur telah diundang dalam pertemuan ini karena dengan ini saya sendiri bisa menilai sejauh apa dan apa yang telah saya capai tahun ini.

Tapi bukan hal itu yang saya bahas saat ini, tetapi ada satu hal yang menggelitik hati dan pikiran saya. Salah satu teman saya sebut aja si Ari (bukan nama sebenarnya). Dia menceritakan pengalaman yang paling berkesan pada tahun ini. Salah satunya, dia sempat menderita penyakit dalam salah satu saluran pencernaannya. Ketika mengalami hal itu, dia mengalami pergolakan batin yang luar biasa, dia menceritakan hal tersebut dengan sangat detil sekali. Lalu dia bersumpah (mungkin lebih tepat bernazar) kepada Tuhan bila penyakit ini disembuhkan maka dia akan kembali ke Tuhan dan lebih serius lagi dalam perjalanan rohaninya.

Doa yang berasal dari hati pastilah dijawab, dalam beberapa hari kemudian dia sembuh. Lalu sesuai dengan janjinya dia mencoba kembali mendekat kepada sang Pencipta. Tapi hal tersebut hanya terjadi dua hari saja. Selebihnya dia terlalu malas untuk konsisten. Ketika dia selesai menceritakan hal ini, saya dan teman saya mencoba untuk men encourage dan mengingatkan kembali janji pribadinya untuk Tuhan. Cukup lama kami semua berusaha untuk memotivasinya. Tapi dia selalu berkata "gw gk bisa" "gw orangnya keras" "percuma u orang ngmg, gw emg orangnya kaya gini". Saya sendiri bahkan sudah menegur sangat keras tapi dilihat dari bahasa tubuhnya hal tersebut hanya sia-sia belaka.

Saya teringat salah satu statement yang berkata "Seseorang haruslah cukup besar untuk mengakui kesalahan-kesalahannya, cukup cerdas untuk memetik pelajaran darinya, dan cukup kuat untuk berubah". Ari sudah cukup besar untuk mengakui kesalahan dia dan tidak hanya itu dia tahu apa yang salah dari dirinya. Dua hal yang sudah sangat baik sekali tetapi sayang sekali dia tidak cukup mau/kuat untuk berubah. Hal inilah yang membuat saya berpikir ketika sedang berada dalam perjalan di motor sehabis pulang dari jalan-jalan.

Kenapa orang sulit sekali untuk berubah? Saya menemukan bahwa pertama, orang terlalu takut untuk berubah dan sudah benar-benar nyaman di dalam zona nyaman (comfort zone). Mereka takut bila berubah, maka bukan lebih baik maka hal buruk yang terjadi. kedua, perubahan itu tidak enak dan memerlukan proses waktu yang tidak instant !!

Apa yang harus dirubah untuk perubahan itu permanen/konsisten? saya menemukan 2 hal yang penting sekali

A. Perubahan pikiran
Ketika di motor, saya berusaha mencari apa kata sang Pencipta tentang perubahan tapi seingat informasi di otak saya saya hampir tidak pernah menemukan kata "berubah" yang tertulis tetapi secara ajaib Roh Kudus mengingatkan satu ayat yaitu Roma 12:2

Rom 12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi BERUBAHLAH OLEH PEMBAHARUAN BUDIMU, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Langsung saya disadarkan, inilah kunci untuk perubahan yaitu pembaharuan budi atau dengan kata lain pembaharuan pikiran / perubahan pikiran. Kita tidak akan bisa berubah secara permanen bila pikiran kita belum terlebih dahulu berubah.

Motivator sekaligus pakar kepemimpinan, Dr. John C. Maxwell dalam bukunya Thinking for A Change menyatakan ada 6 langkah yang bisa mengubah hidup manusia. Pertama, kita harus mengubah cara berpikir kita. Mengubah cara berpikir akan mengubah keyakinan kita. Kedua, jika keyakinan kita berubah, harapan kita akan berubah. Ketiga, jika harapan kita berubah sikap kita berubah. Keempat, jika sikap kita berubah, perilaku kita berubah. Kelima, jika perilaku kita berubah, kinerja kita berubah. Dan keenam, jika kinerja kita berubah, hidup kita akan berubah.

Dari pernyataan Dr. Maxwell ini saya mencatat bahwa perubahan diri selalu dimulai dengan perubahan pola pikir. Hal ini sangat sejalan dengan firman Tuhan yang disampaikan oleh rasul Paulus agar sebagai pengikut Kristus kita harus berubah oleh pembaharuan budi kita. Hanya saja, saya perlu mengingatkan sekali lagi bahwa perubahan tidak selalu menyenangkan. Bahkan kalau suatu proses perubahan itu terasa mulus dan sangat enak, bisa jadi itu bukan perubahan. Perubahan selalu menuntut pengorbanan namun perubahanlah satu-satunya sarana efektif menuju ke tahapan kehidupan yang lebih baik.

Saya juga diingatkan pada ayat lainnya yang menjelaskan hal ini
Ams 4:23 Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

Dalam bahasa aslinya (ibrani), kata kehidupan mempunyai arti yaitu "batas-batas kehidupan". Jadi hati (pikiran) kitalah yang menentukan batas kehidupan kita !! wow kebenaran yang luar biasa sekali, dulu saya sering mengatakan pada diri saya sendiri " saya orangnya pemalu, saya tidak mungkin bisa berbicara di depan umum, teman saya sedikit dsb" saya sedang membatasi kehidupan saya sendiri, saya sedang memenjarakan pikiran saya dan saya menghalangi Tuhan untuk bekerja lewat kehidupan saya. Dan ketika cara berpikir saya sudah berubah, saya sekarang melihat ternyata saya mampu untuk berbicara di depan banyak orang, mampu berdampak dan menjadi berkat untuk banyak orang.Bahkan kalau saya berkata dulu saya orang pemalu, teman-teman saya tidak ada satupun yang percaya hal itu dan mereka sering menambahkan "Kalau dulu pemalu, sekarang malu2in". Jika saya saja bisa, pastilah anda yang membaca tulisan ini juga bisa !!!

B. Komunitas yang membantu perubahan tersebut
Di sekolah saya ingat dalam salah satu buku pelajaran saya , tertulis "manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain". Suatu kebenaran yang luar biasa dan ini berlaku dalam proses perubahan itu sendiri. Saya sering menemukan orang lain bahkan diri saya sendiri, seringkali kita termotivasi untuk berubah tetapi ketika dilakukan, perubahan itu hanya terjadi secara sesaat mungkin hanya 2 hari, 1 minggu atau 1 bulan saja. Dengan perkataan lain, perubahan tersebut tidak konsisten.

Untuk perubahan tersebut menjadi konsisten, kita membutuhkan bantuan orang lain !! Kita tidak akan bisa berubah tanpa adanya dukungan dari orang lain. Pernah suatu saat, saya termotivasi untuk berubah dalam suatu hal tetapi tidak lama berselang ada suatu tantangan , ada masalah yang menghadang dan saya merasa diri saya tidak mampu untuk berubah. Pada saat seperti itulah, ada sahabat-sahabat yang mendukung, memberi kata-kata yang membangun. Kata-kata seperti "Ayoo kamu pasti bisa", "gw yakin u pasti bisa lewatin hal ini". Perkataan seperti itu, seperti air segar yang menyiram pikiran saya dan saya termotivasi kembali untuk berubah dan akhirnya saya bisa berubah secara konsisten dalam hal tersebut.

Friday, December 11, 2009

Reach Your Dream

"Tidak ada yang terjadi kecuali Anda memimpikannya terlebih dahulu (nothing happens unless first a dream)," kata Carl Sandburg. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan impian adalah adalah titik awal sebuah prestasi. Berdasarkan pengalaman pribadi dan dari apa yang saya pelajari ada sejumlah tahap penting yang diperlukan agar sebuah impian dapat menjadi kenyataan.

Pertama, perjelas impian Anda dan tuliskan. Pada awal mula impian itu mungkin hanya berwujud angan-angan dan Anda mungkin melihatnya secara sekilas dalam imajinasi Anda. Mungkin pada saat itu Anda akan berkata dalam hati Anda, "Keadaan seperti inilah yang aku inginkan."

Jika angan-angan itu ditindaklanjuti dengan perenungan pribadi, diskusi dengan orang lain (misalnya pembimbing Anda), doa dan sebagainya angan-angan itu akan bertambah matang dan menjadi visi. Ketika ia telah menjadi visi, timbul gairah dalam diri sang empunya visi. Persis seperti yang dikatakan Bill Hybels dalam bukunya Courageous Leadership, "vision is a picture of the future that produces passion."

Seiring perjalanan waktu, visi itu akan semakin matang dan membuat Anda tidak sabar untuk segera mewujudkannya. Saran saya, buatlah visi itu menjadi sebuah target yang memiliki unsur S.M.A.R.T, yaitu:

Specific (artinya sespesifik mungkin alias tidak kabur). Misalnya Anda mengatakan ingin jadi orang kaya, Anda harus mendefinisikan secara jelas apa itu kaya. Apakah punya rumah besar, mobil mewah, popularitas atau dapat membantu sebanyak mungkin orang yang membutuhkan. Jika Anda ingin punya mobil, definisikan secara jelas mobil apa. Apakah mobil sedan, jeep, mini bus atau mobil seperti apa? Mereknya apa? Intinya, impian itu harus dapat Anda lihat jelas dalam imajinasi Anda. Tidak samar-samar!

Measurable (dapat diukur atau ada angkanya). Seorang pengusaha pernah menasehati saya, "If you can not measure it, you can not manage it." Saya rasa pernyataan tersebut sangat benar. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar setiap awal tahun selalu memasang target yang jelas mengenai peningkatan omset perusahaan, dan sebagainya. Hal ini juga berlaku bagi impian pribadi Anda. Jika Anda memimpikan sebuah rumah, Anda harus mendefinisikan rumah seharga berapa yang ingin Anda beli, luasnya berapa atau kredit berapa lama? Begitu pun kalau Anda memimpikan mobil, harganya berapa, berapa cc, dan seterusnya.

Achievable (dapat Anda raih). Buktinya sudah ada orang yang meraihnya saat ini atau jika belum ada yang meraihnya, paling tidak hal tersebut logis menurut Anda. Mengapa? Karena bisa jadi, Andalah orang pertama yang meraih hal tersebut. Seperti ketika Orville dan Wilbur Wright berhasil menemukan pesawat terbang padahal sekitar tiga puluh tahun sebelumnya ayah mereka yang kebetulan seorang pendeta dengan tegas menyatakan, tidak mungkin manusia bisa terbang. "Kalau memang Tuhan menghendaki manusia terbang, tentu Ia akan memberikan sayap," kata Pendeta Milton Wright. Sesuatu yang tampaknya tidak masuk akal bagi sang pendeta ternyata dapat diwujudkan oleh kedua putranya.

Realistic (realistis). Artinya sesuai dengan sumber daya yang saat ini Anda miliki atau masih dalam kendali Anda, bukan orang lain. Sebagai contoh, impian saya untuk membuat seminar di angkasa pada awalnya tidak realistis karena saya tidak punya kenalan di maskapai penerbangan. Namun impian tersebut kemudian jadi realistis karena teman saya, Eddy Efendy, pengusaha travel yang saban bulan membawa karyawan berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia untuk berlibur ke luar negeri. Eddy juga memiliki jaringan yang sangat bagus dengan banyak maskapai penerbangan. Alhasil, dengan kerja sama yang kuat, kami dapat mewujudkan impian tersebut.

Time bound (ada batas waktunya). Artinya kapan Anda ingin itu terwujud. Saya sering menemukan banyak orang yang tidak pernah serius dengan impian mereka, termasuk menetapkan kapan mereka ingin impian mereka terwujud. Seorang teman yang sudah setahun wisuda belum juga mendapatkan pekerjaan, ketika ditanya sampai kapan ia akan menganggur, dengan santai menjawab, "Ya, gimana nanti, deh."

Target yang telah Anda tetapkan itu, hendaklah ditulis. Mengapa? Sesuatu yang ditulis akan lebih jelas dan mudah diingat. Menuliskan target Anda seperti membuat komitmen atau kontrak kepada diri Anda sendiri. Saya sendiri membiasakan diri untuk menulisnya di sebuah buku. Kadang-kadang saya suka menulisnya di selembar kertas atau buku agenda saya.

Kedua, uraikan manfaat yang bisa didapatkan jika impian itu terwujud. Jika manfaat itu bisa dituliskan, tentu akan lebih baik. Sebaiknya manfaat itu bukan hanya bagi diri Anda sendiri melainkan juga bagi orang yang paling Anda cintai, orang-orang di sekitar Anda dan sesama lainnya. Semakin besar manfaat yang bisa Anda peroleh maka Anda akan semakin bersemangat dalam menggapainya.

Ketiga, doakan impian Anda tersebut. Mintalah bantuan Tuhan sebab bagaimana pun kerasnya kita bekerja akan sia-sia jika Sang Sumber Segala Rahmat tidak memberkatinya. Terkadang impian kita tidak kunjung terwujud karena bertentangan dengan kehendak-Nya atau memang belum waktunya. Untuk itu, usahakan Anda meluangkan waktu yang cukup sehingga dapat berkomunikasi dengan-Nya mengenai impian Anda ini.

Keempat, identifikasi semua masalah atau hambatan yang kiranya akan Anda hadapi dalam rangka mewujudkan impian tersebut. Tahapan ini ibarat membuat peta perjalanan Anda semakin jelas.

Kelima, identifikasi orang, kelompok orang atau organisasi yang kiranya dapat membantu Anda mewujudkan impian tersebut. Barangkali Anda akan mendapatkan ada orang, kelompok atau organisasi yang dapat bersinergi dengan Anda bahkan bisa jadi mereka memiliki impian yang sama sehingga Anda bisa bekerja sama dengan mereka.

Secara pribadi, saya sangat menghargai data base kenalan saya. Ada beberapa album kartu nama yang saya klasifikasikan secara khusus. Misalnya album kartu nama untuk kenalan yang birokrat, pengusaha, profesional, dsb. Setiap kali saya berusaha untuk memecahkan sebuah masalah atau meraih impian yang besar, saya selalu membuka album kartu nama yang sesuai dengan kebutuhan saat itu.

Keenam, identifikasi pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang sangat Anda perlukan dalam upaya untuk meraih impian tersebut. Barangkali Anda harus membaca buku-buku tertentu, mengikuti kursus, seminar atau training. Jangan ragu untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Les Brown pernah berkata, "To achieve something you have never achieved before, you must become someone you have never been before."

Ketujuh, buatlah plan of action yakni langkah-langkah yang akan Anda tempuh. Pada tahap ini, Anda perlu mengambil waktu yang cukup untuk menyusun strategi yang ingin Anda tempuh. Pada tahap ini, mungkin Anda harus memecah target Anda menjadi lebih kecil. Misalnya, kalau dalam dua belas bulan ke depan, Anda ingin menurunkan berat badan 12 kilogram, itu artinya tiap bulan Anda harus menurunkan berat badan sekitar satu kilogram. Berdasarkan itu, Anda kemudian menyusun strategi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh Anda makan, jenis olah raga apa yang harus Anda lakukan secara reguler, dan sebagainya. Bisa jadi pada tahap ini, Anda perlu berkonsultasi dengan orang yang lebih ahli.

Kedelapan, action. Jika sebuah impian memang bernilai, ia layak diperjuangkan dengan sepenuh hati. Pada tahap ini, komitmen Anda benar-benar diuji. Seorang teman pernah mengingatkan kalau jarak yang paling jauh adalah dari hati ke tangan. Banyak orang yang hatinya telah terbakar dan tergerak oleh impian, sayangnya tangannya tidak ikut bergerak. Alhasil, semuanya hanya tinggal impian semata.

Kesembilan, jaga sikap mental Anda. Tetaplah berpikir positif dan beranilah bangkit dari kegagalan. Tanggapilah setiap kritik dan masukan negatif dengan sikap bijaksana. Lupakan mereka yang bisanya hanya mengolok-olok dan meremehkan Anda. Sesuatu yang mustahil bagi orang lain, belum tentu mustahil bagi Anda.

Kesepuluh, lakukan evaluasi secara berkala. Sekiranya diperlukan perubahan, jangan ragu untuk melakukannya. Jangan kaku! Bersikaplah fleksibel dalam soal cara atau metode. Temukan, apakah ada cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu sehingga membawa Anda semakin dekat dengan impian Anda?

Sumber: Paulus Winarto

Tuesday, December 08, 2009

Patung David


"Di Florence, terdapat sebuah museum istimewa yang sengaja dibangun bagi sebuah patung David yang diciptakan oleh Michelangelo beberapa ratus tahun yang lalu. Patung itu barangkali adalah sebuah kaya patung yang paling indah di dunia. Berada secara fisik di dalam ruangan yang sama dengan patung tersebut adalah sebuah pengalaman yang tidak akan pernah dapat dilupakan.

Cerita tentang pembuatan David sangat menarik dan menjadi pelajaran berharga. Dahulu, Michelangelo diminta secara khusus oleh keluarga Medicis untuk menciptakan sebuah patung yang akan diletakkan di alun-alun Kota Florence. Keluarga Medicis adalah “sebuah keluarga yang kaya raya dan terpandang di Italia pada zaman tersebut”. Sebuah pesanan khusus dari keluarga Medicis bukan hanya berarti sebagai sebuah kehormatan besar; pesanan seperti ini juga sebuah tugas yang tidak dapat ditolak begitu saja. Selama dua tahun penuh Michelangelo mencari sebongkah batu yang dapat dia pergunakan untuk menciptakan sebuah mahakarya bagi keluarga Medicis.

Akhirnya, di pinggir sebuah jalan di Florence, separuh tertutup semak belukar dan tertimbun lumpur, dia menemukan sebongkah besar pualam di atas sebuah titian kayu. Batu tersebut bertahun-tahun sebelumnya telah diangkut, dari pegunungan, tetapi tidak pernah dipergunakan orang.

Michelangelo telah melalui jalanan itu berkali-kaki, tetapi kali ini dia berhenti dan menatap batu tersebut lebih dekat lagi. Ketika dia maju mundur mengamati bongkahan pualam itu, dengan jelas dia dapat membayangkan patung David dan melihatnya di dalam batu tersebut secara keseluruhan.

Sang pematung dengan segera mengatur agar bongkahan pualam itu dapat diangkut ke studionya yang cukup jauh dari tempat ditemukannya batu tersebut. Dia kemudian memulai pekerjaannya yang panjang dan berat, memalu dan memahat. Diperlukan dua tahun penuh baginya untuk bekerja menciptakan gambaran kasar patung tersebut. Dia kemudian menyisihkan palu dan pahatnya, dan menghabiskan dua tahun lagi untuk memoles dan menghaluskan sampai patung itu benar-benar siap.

Michelangelo pada saat itu telah menjadi seorang pematung yang terkenal, dan kabar bahwa dia sedang mengerjakan sebuah pesanan khusus dari keluarga Medicis telah menyebar ke seantero Italia. Ketika waktunya tiba untuk mempertontonkan patung tersebut kepada publik, ribuan orang datang dari seluruh Italia danberkumpul di alun-alun kota.

Ketika selubung yang menutup patung dibuka, kerumunan massa yang berada disana tercengang dengan mulut ternganga. Patung itu luar biasa indah. Orang banyak bersorak-sorai. Wanita-wanita jatuh pingsan. Para pengunjung merasa kagum melihat kecantikan luar biasa patung hebat itu. Michelangelo dengan segera dikenal sebagai pematung terhebat pada zamannya.

Sesudah itu, ketika Michelangelo ditanya bagaimana dia dapat menciptakan sebuah mahakarya seperti itu, dia menjawab dengan mengatakan bahwa dia telah melihat David dengan lengkap dan sempurna pada batu pualam yang dia temukan. Yang dia lakukan hanyalah membuang apa-apa yang bukan David."

Sebuah cerita yang bagus sekali, ketika selesai membaca ini saya langsung memikirkan betapa hebatnya Michaelangelo bisa "melihat" David dalam patung tersebut, tiba-tiba "Tuing" kira2 dapet hikmat yang berkata "Seperti itulah Pemahat Agung memahat". Langsung kata-kata tersebut menjadi jelas sekali maknanya.

Bukankah seperti itu hidup kita, ada seorang Pemahat Agung yaitu Tuhan Yesus Kristus yang menemukan kita dalam keadaan "penuh semak belukar dan lumpur dosa" di mana tidak ada seorangpun yang memperhatikan kita. Tapi Pemahat Agung itu sudah melihat gambaran yang begitu jelas tentang siapa kita di dalam batu tersebut. Dan ketika kita mengizinkan diri kita dipahat oleh Pemahat Agung tersebut. Dia akan mengikis bagian-bagian yang mana bukan diri kita yang sebenarnya.

Kedengkian, hawa nafsu, iri hati, perseteruan, cinta uang, egois dan lain-lain. Ketika sedang dipahat, sakit dan tidak enak rasanya tapi itu PERLU untuk membuang bagian-bagian yang mana bukan kita. 2 tahun Michaelangelo memahat sampai terjadi gambaran kasarnya, saya percaya seperti itulah Pemahat Agung memahat kita. Ada proses waktu yang diizinkan agar siapa diri kita terbentuk. Dan 2 tahun berikutnya untuk memoleskan dan menghaluskan . Saya percaya setelah kita dikikis sedemikian rupa ada tahap pemolesan dan pengahalusan agar karunia/talenta yang diberikan semakin terasah. Dan pada saat itulah diri kita yang sebenarnya agar terlihat. Saya berdoa agar semua yang membaca ini mengalami dan merasakan potensi maksimal yang ada dalam dirinya.

Wednesday, December 02, 2009

PASSION MATTERS MORE THAN TALENT

One of the great­est bless­ings in my life is hav­ing been born in a pastor’s home. One of the great­est chal­lenges I’ve had to over­come in my life is hav­ing been born in a pastor’s home. I have been priv­i­leged to learn so much about the nuances and how-to’s of min­istry at an early age. While that was a great oppor­tu­nity, it was also some­thing I had to unlearn in order to truly be effec­tive in ministry.

For the first eight years or so of my min­istry, I man­aged to teach, lead, and serve with­out ever really flex­ing my heart mus­cle. I did it all with wit, fancy foot work, and things I had learned from one of the great­est pas­tors who ever lived.

I knew what a good ser­mon was and I could preach one; but it was all head, no heart. Most of these sure-​​fire, get a response ser­mons, were not my own. They came from oth­ers who I had read after or lis­tened to.

I coun­seled many peo­ple and even helped a few. But I was shoot­ing from the hip and never able to truly empathize. The per­son on the couch got some good one-​​liners and Hall­mark card quotes, but again, there was no passion.

Melanie would often ask me, “Scott, are you happy? Are you chal­lenged? Do you enjoy doing what you’re doing?” I don’t actu­ally recall my response to her ques­tions, but on the inside the answer was a def­i­nite “no.” Pas­sion is like oil to an engine, with­out it you are headed for burn out.

It wasn’t until I went through an incred­i­ble break­ing process in God’s hands, that I finally found pas­sion in my min­istry. The dis­con­nect from heart to head was fixed when I was bro­ken. By the way, I’m thank­ful my break­ing took place in God’s hands. Matthew 21:44 tells us that we can either fall upon the stone and be bro­ken, or the stone will fall on us and grind us to powder.

This actu­ally brings up another thing I wish I had known when I first launched into min­istry — God min­is­ters best out of the bro­ken places. My min­istry was made and solid­i­fied through my brokenness.

Peo­ple aren’t look­ing for some­one who’s got “it” all together; and besides that, you don’t! So be real. Let peo­ple see God as He leaks through the cracks in your life.

Once I con­nected my heart with my min­istry, ser­mons were no longer just great thoughts cap­tured on tape or writ­ten down dur­ing a con­fer­ence, but there was a flow out of the bro­ken places in my heart. It was no longer head knowl­edge, but heart knowl­edge that was com­ing from the pul­pit. Peo­ple could feel the dif­fer­ence and lives were touched.

I remem­ber look­ing at some of the peo­ple I had pre­vi­ously coun­seled and think­ing I should go and apol­o­gize to them for the lame — all head, no heart — coun­sel I had given them. I had lived such a shel­tered life I really didn’t know pain, nor did I know how to feel with oth­ers. One of the things that makes our Sav­ior so won­der­ful is that He is a high-​​priest who can be touched by what touches us.

Let me encour­age you, if you have bro­ken places in your life, stop try­ing to hide the cracks. Peo­ple don’t need any more fakes or facades…they need to see lead­er­ship that does not put on airs of per­fec­tion but that of human­ity and humility.

Find your pas­sion! Fall upon the stone and be bro­ken in God’s pres­ence. Ask God to move you with what moves Him. As the song says, “break my heart for what breaks Yours.”

Here’s a few pas­sion obser­va­tions I’d like to leave you with:

  • The dif­fer­ence between a good leader and a great leader is passion.
  • A pas­sion­ate leader with a few skills will out-​​perform the pas­sive leader with many skills.
  • Pas­sion­ate lead­ers move their team beyond prob­lems and into opportunity.
  • You can never lead some­thing you don’t pas­sion­ately care about.
  • You can never start a fire in your orga­ni­za­tion unless it is first burn­ing in you.
  • When you are pas­sion­ate about what you are doing, per­se­ver­ance and com­mit­ment come with the territory.
  • Pas­sion turns your have-to’s into want-to’s. Your chores will become challenges.
  • With pas­sion, you enjoy the climb as much as reach­ing the summit.
  • A per­son with pas­sion never needs a jump start.
  • A pas­sion­ate per­son does not have to push him­self to start, he has to force him­self to stop
Source : Pastor Scott Jones

Comment:
Yang dikatakan di atas itu benar sekali, kita membutuhkan passion dalam mengikut Tuhan terutama dalam melayani Dia. Sekali kita membiarkan passion itu hilang, maka yang ada hanya kelesuan, kehampaan, rutinitas dan pelayanan akan terasa sebagai beban yang luar biasa bukan lagi sebagai suatu kehormatan. Sungguh disayangkan, sekarang ini banyak saya melihat anak-anak Tuhan sudah kehilangan passion tersebut.

Bagaimana menemukan kembali passion tersebut? Dalam Wahyu 2:4-5 dikatakan bahwa kita telah MENINGGALKAN kasih mula-mula tersebut. Dan Tuhan memerintahkan untuk kita MELAKUKAN LAGI apa yg dulu kita lakukan. Sering saya dengar, anak Tuhan berdoa kira-kira seperti ini "Tuhan berikan kami hati yang mengasihi jiwa-jiwa lagi". Doanya keliatan sangat baik dan mulia tetapi ini tidak sesuai dengan Firman Tuhan, bahasa kerennya tidak alkitabiah. Tuhan memerintahkan kita untuk melakukan "TINDAKAN" kasih bukan meminta "Perasaan (passion)" kasih. Saya percaya kita kita melakukan tindakan kasih maka perasaan(passion) tersebut akan mengikuti. God Bless You :)

Sunday, November 29, 2009

READING YOUR GAUGES

For almost all of the eigh­teen years I have served in ministry, I have mon­i­tored myself closely in two areas, con­tin­u­ally check­ing two gauges on the dash­board of my life. Until recently, I thought that was enough.

First, I kept an eye on the spir­i­tual gauge, ask­ing myself, How am I doing spir­i­tu­ally? Apart from Christ I can do noth­ing. I know that. I don’t want my life’s efforts to be burned up because they were done merely through human effort, clever tac­tics, or gim­mickry. I am gripped by the fact that I must oper­ate in the power of the Holy Spirit.

To keep my spir­i­tual gauge where it needs to be, I have com­mit­ted myself to the spir­i­tual dis­ci­plines: jour­nal­ing, fasting, solitude, sac­ri­fice, study, and oth­ers. Like many Chris­tians before me, I have dis­cov­ered that these dis­ci­plines clar­ify spir­i­tual issues and pump a high-​​octane fuel, pro­vid­ing inten­sity and strength for ministry.

Even though the pace of min­istry has dra­mat­i­cally quick­ened in the past few years, I hon­estly don’t think I often mis­read my spir­i­tual gauges. Look­ing at my life’s dash­board, I can tell when I am spir­i­tu­ally half full, three-​​quarters full, or, some­times, full.

When I’m full spir­i­tu­ally, I can look at my life and hon­estly say I love Jesus Christ and I’m attend­ing to my spir­i­tual dis­ci­plines and keep­ing myself open to the lead­ing of Christ. When I’m spir­i­tu­ally full, I don’t need to apol­o­gize for my motives. I can truly say: “I’m not in min­istry because it gives me strokes. I’m excited about the fruit being borne through the min­istry of Wil­low Creek.”

Sec­ond, I have mon­i­tored the phys­i­cal gauge—How am I doing phys­i­cally? I know that if I push my body too hard, over time I will expe­ri­ence a phys­i­cal break­down or psy­cho­so­matic com­pli­ca­tions asso­ci­ated with high stress.

If I don’t exer­cise, eat prop­erly, and rest, I will offer the Lord only about two-​​thirds of the energy I have the poten­tial of giv­ing. The Holy Spirit tugs at me to be wholly available—mind, soul, and body—for the work to which he has called me. Con­se­quently, I have com­mit­ted myself to the phys­i­cal dis­ci­plines of run­ning and weight lift­ing. I closely watch what I eat. And I receive reg­u­lar med­ical check-​​ups.

The Near Crash

Since these spir­i­tual and phys­i­cal gauges—the only two on my dashboard—have con­sis­tently sig­naled “go,” I have pushed myself as hard and fast as pos­si­ble. But recently a dif­fer­ent part of my engine began to misfire.

While prepar­ing for a par­tic­u­larly dif­fi­cult series of sermons, the mes­sage that week wouldn’t come together. No mat­ter how hard I tried, no ideas seemed worth say­ing. Sud­denly I found myself sob­bing with my head on my desk.

I’ve always been more ana­lytic than emo­tional, so when I stopped cry­ing, I said to myself, “I don’t think that was nat­ural.” Peo­ple who know my ratio­nal bent laugh when I tell them that. Indi­vid­u­als more aware of their feel­ings might have known what was wrong, but I didn’t.

All I knew was, Something’s not right with me, and I don’t even have time now to think about it. I’ll have to jour­nal about this tomor­row. I forced my thoughts back to the ser­mon and man­aged to put some­thing together for the ser­vice. But the next morn­ing as I wrote in my jour­nal I considered, Am I falling apart in some area spir­i­tu­ally? My gauges said no. My prac­tice of the dis­ci­plines seemed reg­u­lar, and I didn’t sense a spir­i­tual malaise. Phys­i­cally, am I weak or tired? No, I felt fit.

I con­cluded that maybe this was my mid-​​life cri­sis, a phase I would sim­ply have to endure. But four or five sim­i­lar inci­dents in the next few weeks con­tin­ued sig­nal­ing that my anx­i­ety and frus­tra­tion could not be ignored.

Then I noticed I was feel­ing vulnerable—extremely temptable—in areas where I hadn’t felt vul­ner­a­ble for a long time. And the idea of con­tin­u­ing on in min­istry seemed noth­ing but a tremen­dous bur­den. Where had the joy gone? I couldn’t bear the thought of twenty more years of this.

Maybe God is call­ing me to a dif­fer­ent kind of work, I thought. Maybe he’s get­ting my atten­tion by these break­downs in order to lead me to a dif­fer­ent min­istry. Maybe I should start another church or go back into a career in the marketplace.

At that time, the church was decid­ing whether to take on a major build­ing expan­sion, which inten­si­fied my feel­ings. I knew that if we moved ahead, it would be uncon­scionable for me to leave the senior pas­torate until the expan­sion was com­plete. Yet when I looked hon­estly at whether I wanted to sign up for another three or four years, the answer scared me. It was a big fat no.

You don’t feel like it any­more? I asked myself in disbelief. You want to bail out? What is hap­pen­ing to you? Maybe I did need a change of call­ing.
What­ever it was, I was astounded that I could be com­ing apart, because I put so much stock in the spir­i­tual and phys­i­cal gauges, and nei­ther of them was indi­cat­ing any problem.

After a Christ­mas vaca­tion that didn’t change my feel­ings, I began to seri­ously inspect my life. After talk­ing with some respected peo­ple, I learned that I had over­looked an impor­tant gauge. The spir­i­tual and phys­i­cal aspects of life were impor­tant, but I had failed to con­sider another area essen­tial to healthy ministry—emotional strength.

I was so emo­tion­ally depleted I couldn’t even dis­cern the activ­ity or the call of God on my life. I needed a third gauge on the dash­board of my life.
Through­out a given week of min­istry, I slowly began to real­ize, cer­tain activ­i­ties drain my emo­tional reser­voir. I now call these expe­ri­ences IMA’s—Intensive Min­istry Activities.

An IMA may be a con­fronta­tion, an intense coun­sel­ing ses­sion, an exhaust­ing teach­ing ses­sion, or a board meet­ing about sig­nif­i­cant finan­cial deci­sions. Prepar­ing and deliv­er­ing a mes­sage on a sen­si­tive topic, which requires exten­sive research and thought, for instance, wears me down.

An IMA may be a con­fronta­tion, an intense coun­sel­ing ses­sion, an exhaust­ing teach­ing ses­sion, or a board meet­ing about sig­nif­i­cant finan­cial deci­sions. Prepar­ing and deliv­er­ing a mes­sage on a sen­si­tive topic, which requires exten­sive research and thought, for instance, wears me down.

The com­mon denom­i­na­tor of these activ­i­ties is that they sap you, even in only a few hours. Every leader con­stantly takes on IMA’s. I didn’t realize, however, that I could gauge the degree of their impact on me. As a result, I was obliv­i­ous to the intense drain I was experiencing.

For exam­ple, many times while dri­ving home from church, I would feel thin in my spirit. Sens­ing some­thing wrong, I would exam­ine my two trusted gauges.

In the spir­i­tual area, I’d scru­ti­nize myself: Did you give out the Word of God as best you knew how? Did you pray? Did you fast? Did you pre­pare? Were you accu­rate? Did the elders affirm the message?

If that gauge read nor­mal, I would pro­ceed to the phys­i­cal area: Have you kept to your diet? Yes. Have you been work­ing out? Yes. I must be okay. Buck up, Bill. But some­thing was wrong. I needed that third gauge—an emo­tional monitor—to deter­mine my min­istry fit­ness.
Often we attribute our dis­cour­age­ment to spir­i­tual weakness. We berate our­selves: “I’m a bad Chris­t­ian,” or “I’m a lousy disciple.”

And some­times our prob­lem does sig­nal that we are not rightly con­nected to Christ. Yet some prob­lems in min­istry stem not from spir­i­tual lapses but from emo­tional emptiness.

Read­ing the Emo­tional Gauge

I have now com­mit­ted myself to installing an emo­tional gauge in the cen­ter of my dash­board and learn­ing how to read it. I take respon­si­bil­ity to man­age the emo­tional reser­voir in my life.

When my cri­sis hit, I didn’t real­ize my reser­voir was depleted until I (1) began to feel vul­ner­a­ble morally, (2) found myself get­ting short and testy with peo­ple, and (3) felt a desire to get out of God’s work. Sud­denly I knew the tank was nearly dry.

Now my goal is to mon­i­tor my emo­tional resources so I don’t reach that point. What sig­nals do I look for? If I drive away from a min­istry activ­ity and say, “It would be fine if I never did that again,” that’s a warn­ing sig­nal. Some­thing is wrong when I look at peo­ple as inter­rup­tions or see min­istry as a chore.

Another indi­ca­tor: on the way home, do I con­sciously hope Lynne isn’t hav­ing a prob­lem and my kids don’t want any­thing from me? That’s a sign I don’t have enough left to give. When I hope that the pre­cious peo­ple in my life can exist with­out me, that’s a sign of real trouble.

A third check for me is how I approach the spir­i­tual dis­ci­plines. I jour­nal and write my prayers. For months I found myself say­ing, day after day, “I don’t have the energy to do this.” I jour­naled any­way, but more mechan­i­cally than authen­ti­cally. I dis­like myself when my Chris­tian­ity is on autopilot.

Each per­son has to find the warn­ing sig­nals for his or her own life. But after an intense min­istry activ­ity, it helps to ask some ques­tions of your­self: Am I out of gas emo­tion­ally? Can I not stand the thought of relat­ing to peo­ple right now? Do I feel the urge to take a long walk with no des­ti­na­tion in mind? Am l feel­ing the need to go home, put on music, and let the Lord recharge my emotional batteries?

Recharg­ing the Emo­tional Reserves

My next dis­cov­ery was humil­i­at­ing. I found that when my emo­tional fuel was low, I couldn’t do an Indy pit stop and get a fast refill. Replen­ish­ing emo­tional strength takes time—usually more time than it took to drain.

The best anal­ogy I can offer is a car bat­tery. If you sit in a park­ing lot and run all your car’s accessories—radio, headlights, heater, horn, rear defog­ger, power windows—you can prob­a­bly sap that bat­tery in about ten min­utes. After that mas­sive drain, sup­pose you then take the bat­tery to a ser­vice sta­tion and say, “I’d like this bat­tery charged. I’ll be back to pick it up in ten minutes.”

What would they tell you? “No, we’re going to put the bat­teryvon our overnight charger. It’s going to take seven or eight hours to bring it all the way back up.” It has to be recharged slowly or else the bat­tery will be damaged. A slow, con­sis­tent charge is the best way to bring a bat­tery back to full power. Like­wise, to prop­erly recu­per­ate from an emo­tion­ally drain­ing activ­ity takes time.

When I first learned I couldn’t get a quick emo­tional recharge, I shared my frus­tra­tion about that with another pas­tor friend. He said, “Bill, you have found a rule you’re not an excep­tion to. You can fast and study the Scrip­tures and lift weights and do what­ever you want, but there’s no short­cut to rebuild­ing your­self emo­tion­ally. A mas­sive drain requires a slow and steady recharge.”

That dis­cour­aged me. I looked at my aver­age week, and almost every day had an intense min­istry activity—preparing a mes­sage, deliv­er­ing a mes­sage, meet­ing with elders, or mak­ing some tough deci­sion. I would find lit­tle snatches of refresh­ment dur­ing the week, but I fin­ished most weeks with an emo­tional deficit. Then my fam­ily wanted me to have some fun and excit­ing things planned for them, but I was totally depleted. I’m going to over­load the cir­cuitry, I said to myself. One day I’m going to find myself in the prover­bial fetal position.

It has been hum­bling to take an accu­rate, hon­est read­ing of my emo­tional gauges. When I see my emo­tional gauge is read­ing low, I take time to recharge. Some peo­ple recharge by run­ning, oth­ers by tak­ing a bath, oth­ers by read­ing, oth­ers by lis­ten­ing to music. Usu­ally it means doing some­thing totally unre­lated to ministry—golfing, motorcycling, wood­carv­ing. The impor­tant thing is to build a min­istry sched­ule that allows ade­quate time for emo­tional recharging.

Return­ing to Your Gift Areas

I’ve learned a sec­ond thing about main­tain­ing emo­tional resources for min­istry. The use of your major spir­i­tual gift breathes life back into you. When you have iden­ti­fied your spir­i­tual gifts and use them under the direc­tion of Jesus Christ, you make a dif­fer­ence. You feel the affir­ma­tion of God, and many times you feel more ener­gized after ser­vice than before.

I think of when Jesus had that impor­tant con­ver­sa­tion with the woman at the well. The Twelve came back from buy­ing food and said: “Jesus, you must be fam­ished. We had lunch, and you’ve just worked through your lunch hour.” Jesus responded: “I’ve had a meal. I had food you’re not aware of. I was used by my Father to con­nect with a woman who was in trou­ble.” Jesus found that doing what the Father had called him to do was utterly fulfilling.

Con­versely, serv­ing out­side your gift area tends to drain you. If I were asked to sing or assist with account­ing, it would be a long hike uphill. I wouldn’t feel the affir­ma­tion of the Spirit, because I wouldn’t be serv­ing as I have been gifted and called to serve. This is why many peo­ple bail out of var­i­ous types of Chris­t­ian ser­vice: they aren’t in the right yoke.

The prin­ci­ple is self-​​evident, but unwit­tingly I had allowed myself to be pulled away from using my strongest gifts.

About the time Wil­low Creek was founded, I con­ducted an hon­est analy­sis of my spir­i­tual gifts. My top gift was lead­er­ship. My sec­ond gift was evan­ge­lism. Down the list were teach­ing and administration.

I imme­di­ately asked two peo­ple with well-​​developed teach­ing gifts to be pri­mary teach­ers for the new con­gre­ga­tion. God had given me a teach­ing gift, but it was far enough down the list that I had to work very hard at teaching—harder than a gifted teacher does.

Both peo­ple declined to teach, how­ever, and we had already set our start­ing date. I remem­ber think­ing, Okay, God, I’ll start as pri­mary teacher, but I’m doing it reluc­tantly. Please bring a teacher and let me lead and evan­ge­lize as you have gifted and called me to do.

Recently, when I hit emo­tional bot­tom, I decided to do another gift analy­sis. The results were exactly the same as eigh­teen years before: lead­er­ship and evan­ge­lism above teach­ing and admin­is­tra­tion. But as I thought about my weekly respon­si­bil­i­ties, I real­ized I was using teach­ing as though it were my top gift. Sel­dom was I devot­ing time to lead­er­ship or evangelism.

I have talked with well-​​respected teach­ers across the country, and I have never had one tell me that it takes him more than five to ten hours to pre­pare a ser­mon. They have strong teach­ing gifts, so it comes nat­u­rally and quickly to them. If I, on the other hand, don’t devote twenty hours to a mes­sage, I’m embar­rassed by the result. I was will­ing to put in those hours, but slowly and surely, the time demand squeezed out oppor­tu­ni­ties to use my gifts in lead­er­ship and evangelism.

In order to ade­quately pre­pare my mes­sages, I had del­e­gated away almost all lead­er­ship respon­si­bil­i­ties. And too often in elder or staff meet­ings, I was men­tally pre­oc­cu­pied with my next mes­sage. My life became con­sumed by the use of my teach­ing gift, which wasn’t my most fruit­ful or ful­fill­ing min­istry. Yet peo­ple kept say­ing, “Great mes­sage, Bill,” and I wrong­fully allowed their affir­ma­tion to thwart my bet­ter judgment.

Since real­iz­ing this, we have imple­mented a team-​​teaching approach at Wil­low Creek. It has been well received by the con­gre­ga­tion and has allowed me to pro­vide stronger lead­er­ship in sev­eral areas. It would be dif­fi­cult for me to describe how much more ful­filled I’m feel­ing these days.

I have also found new oppor­tu­ni­ties for evan­ge­lism. Recently I met with three guys at an air­port. One is a Chris­t­ian, and the other two are his best friends, whom he is try­ing to lead to Christ. As we talked, I could feel the Holy Spirit at work. After our con­ver­sa­tion ended, I ran to my gate, and I almost started crying. I love doing this, I thought. This is such a big part of who I am. I used to lead peo­ple to Christ, but I’ve been prepar­ing so many mes­sages in the past five years that I’ve for­got­ten how thrilling it is to share Christ infor­mally with lost people.

If I’m using a third– or fourth-​​level gift a lot, I shouldn’t be sur­prised if I don’t feel emo­tional energy for min­istry. We oper­ate with more energy when we’re able to exer­cise our pri­mary gifts. God knew what he was doing as he dis­trib­uted gifts for ser­vice. As we min­is­ter in a way that is con­sis­tent with the way God made us, we will find new pas­sion for ministry.

Bal­anc­ing the Eter­nal and the Earthly

Finally, becom­ing emo­tion­ally depleted re-​​taught me a les­son I had learned but for­got­ten. I learned the hard way that a Chris­t­ian leader has to strike a del­i­cate bal­ance between involve­ment in the eter­nal and involve­ment in the mun­dane. The daily things of life pro­vide needed coun­ter­weight to time­less truths.

When we started the church in 1975, I had dis­cre­tionary time that I used to race motor­cy­cles, fly a plane, golf, and ski. I had rela­tion­ships out­side the con­gre­ga­tion and inter­ests other than the church.

Since that time, the needs of the church inex­orably squeezed out these earthly pur­suits. I became con­sumed with the eter­nal. I’m an early riser, so from 5:30 in the morn­ing until I crash at 10:30 at night, barely one moment of time is not related to some­thing eter­nal. I don’t exer­cise at the YMCA any­more; I work out on equip­ment in my base­ment. While I’m cycling I read the­o­log­i­cal jour­nals. When I pump weights, I lis­ten to tapes or think of illus­tra­tions for a mes­sage. The eter­nal co-​​opted the daily routines.

In Jesus’ day, peo­ple approached life dif­fer­ently. In the Bible, after Jesus min­is­ters or deliv­ers an impor­tant dis­course, usu­ally you’ll find a phrase like this: “Then Jesus and the dis­ci­ples went from Judea into Galilee.” Those small phrases are highly sig­nif­i­cant. Such jour­neys were usu­ally many miles long, and most of the time Jesus and his dis­ci­ples walked. You don’t take a multi-​​mile walk over a lunch break.

What hap­pens on a long walk? Guys tell a few jokes, stop and rest awhile, pick some fruit and drink some water, take a siesta in the after­noon, and then keep going. All this time, emo­tional reserves are being replen­ished, and the del­i­cate bal­ance between the eter­nal and the mun­dane is being restored.
It’s a dif­fer­ent world today, and I wasn’t prop­erly aware of the changes. Put car phones and fax machines and jet air­planes into the sys­tem, and sud­denly the nat­u­rally forced times for the mundane disappear.

Recently I made a com­mit­ment to speak in north­ern Michi­gan. Later the per­son who invited me called back and asked, ”Can you give two talks while you’re here?” I agreed. He called back sev­eral weeks later and said, “Bill, we need you to give three talks while you’re here, and if you could meet with some of our peo­ple for break­fast, that would be great, too.”

“How am I going to get there in time?” I asked. ”We’ll send a plane for you.” Not too long after that call, another per­son called me from Texas. ”Bill,” he said, “I’m in deep weeds. I’ve got a thou­sand col­lege kids com­ing, and the speaker we had lined up bailed out. Most of these kids have read your book Too Busy Not to Pray, and we built the whole thing around your book. Could you help us out?”

“When is it?” I asked. He told me, and I said, “I don’t think that’s going to work, because I’m going to be in north­ern Michi­gan that morning.” He asked, “How are you get­ting there?” ”This guy’s send­ing a plane,” I said. He said, “Well, could you call the guy and see if the plane could bring you down here?”

The result was that I got on a plane at 7:00 on a Fri­day morn­ing and flew to north­ern Michi­gan, met with the lead­ers, gave three talks, and had a meet­ing over lunch. Then I got back in the plane and flew all the way to south­ern Texas, with a per­son pump­ing me for infor­ma­tion most of the time. I met with another set of lead­ers over din­ner, gave two talks, got back on the plane, and arrived home at 1 A.M. Sat­ur­day morn­ing. Then I preached Sat­ur­day evening and twice on Sun­day morning.

The point is that spir­i­tu­ally, I was fine—I had main­tained my dis­ci­plines and was striv­ing to obey Christ. Phys­i­cally, I held up fine—it wasn’t like run­ning a marathon. But I was totally depleted emotionally. I was fill­ing my life chock full of eter­nal opportunities.

What’s wrong with that? Besides the emo­tional drain, I real­ized two other hid­den costs of such a ministry-​​centered lifestyle.

First, if you are con­cerned only with spir­i­tual activ­i­ties, you tend to lose sight of the hope­less­ness of peo­ple apart from Christ. You’re never in their world.
Sec­ond, you lose your won­der of the church, of sal­va­tion, and of being part of the work of God. You can over­load on eter­nal tasks to the point that you no longer appre­ci­ate their glories.

I should have known this, because what has saved my min­istry are my sum­mer study breaks. Dur­ing those weeks away, in between study­ing, I jog or sail, often with non-​​believers. That’s when I feel a renewed com­pas­sion for them, for I see afresh the hope­less­ness and self-​​destructiveness of life out­side of Christ. Dur­ing these breaks I also start miss­ing wor­ship at our church, and I begin crav­ing rela­tion­ships with the staff and elders.

Hav­ing enough of the mun­dane in my life makes me see the futil­ity of the world and the won­der and delights of the Chris­t­ian life. I can­not con­tinue to work sev­enty– and eighty-​​hour weeks for many rea­sons, not the least of which is that they don’t allow enough time to be away from the church so that I love it when I come to it.

Know­ing this, I have renewed my com­mit­ment to inte­grate into my life more activ­i­ties that are not church related. I’m golf­ing more. I recently enrolled in a for­mula rac­ing school and learned to drive race cars. This past sum­mer I learned how to bare­foot ski. I want to fly air­planes. If I don’t sched­ule these things—if I wait till my cal­en­dar opens up—they don’t happen.

In Chris­t­ian min­istry the needs of peo­ple are endless. At a cer­tain point I have to tell myself, Bill, you had bet­ter wake up to the fact that you’re not going to get all your work done. It will be there tomor­row. I’m deter­min­ing to live a healthy life so that I can offer more than a few short years of fren­zied activity.

My goal is to mon­i­tor my spir­i­tual, phys­i­cal, and emo­tional resources so that I can min­is­ter, by God’s grace, for a lifetime.

I often think of Billy Gra­ham, who has been a high-​​integrity leader for the cause of Jesus Christ for forty-​​five years. He’s hum­ble, pure-hearted, and self-​​effacing, and every day he draws on the suf­fi­ciency of Christ.

It was a pen­e­trat­ing thought for me to think, What if God wants to elon­gate my min­istry? If God does’ t change his call in my life, can I con­tinue to live at my cur­rent pace for another twenty years? I knew I couldn’t.

I’m con­vinced God wants us to live so as to fin­ish the race we’ve started. That’s the chal­lenge of every Chris­t­ian leader. And mon­i­tor­ing all three gauges— spir­i­tual, phys­i­cal, and emotional—plays an impor­tant part in our longevity.

Source: Bill Hybels

THINGS I WISH I HAD KNOWN — part 2

As I con­tinue through my first week of blog­ging, I find myself reflect­ing over my 25 years in min­istry. I’d love to stretch the truth and tell you I’ve done it all cor­rectly and never skinned my knees, but I’m not going to. I have had been plenty of blun­ders, fum­bles, and flops. There are many things I wish I had known since the begin­ning of my min­istry. How­ever, I now know there are some lessons only learned by experience.

Here’s some­thing I’ve learned that I think you need to know as well — there is no sub­sti­tute for integrity. I don’t care how great, how anointed, or how tal­ented you are, noth­ing replaces integrity.

In a day when tal­ent and sta­tus seems to be at such a high pre­mium, if you’re fak­ing in your walk with God, we’re going to find out! Oh and by the way, God already knows.

HERE’S THE KEY —

The key to growth, fruit­ful­ness and ful­fill­ment in Jesus Christ and in life, is absolute integrity of heart before God. Did you get that? It’s not how well you can sing, it’s not how great you can per­form, and it’s cer­tainly not how pow­er­ful you can preach. It’s hav­ing a heart of integrity before God.

We all are way too famil­iar with the casu­alty list of those who felt their gifts and anoint­ings gave them license to fudge in the integrity depart­ment. I’m flab­ber­gasted every time. What causes a per­son to believe they can be rel­a­tively true to the mes­sage they preach or sing to oth­ers? The Word is clear friend, our sins will be found out.

Let me make another state­ment and let’s see how it strikes you… The key to growth and ful­fill­ment in Christ is not the Bible.

Now before you leave me and start surf­ing the web again, hear me out. You can­not grow with­out the Word of God, but it is not the pri­mary key. There are many peo­ple who study the Word, who do not have a heart for Him. The phar­isees were very knowl­edge­able of the Law, yet Jesus said they were full of dead men’s bones on the inside.

Integrity is the sin­gle most fore­most fac­tor you must come to terms with in your own life. By integrity, I’m talk­ing about whole­ness of heart toward God, not holi­ness. Holi­ness flows from whole­ness, but the essence of integrity is completion.

David did some very unwise and sin­ful things in his life­time, but it is said of him that he had a “heart after God’s.” In Psalm 25, he said, “Let integrity and upright­ness pre­serve me.” Thank God! That means integrity is not per­fec­tion.

Make sure you absorb this point. To be a per­son of integrity does not mean you’re per­fect, just like David was not per­fect. It does mean you’re wide open, totally hon­est, with noth­ing hid before God. A per­son of integrity does not fake it — even with God!

In the next chap­ter he says, “Vin­di­cate me, O Lord, For I have walked in my integrity. I have also trusted in the Lord; I shall not slip.” (Psalm 26:1 (NKJV)

Did you see that? If we walk in integrity and trust the Lord, our steps will not lose their foot­ing and God will be our vin­di­ca­tion. True integrity means never hav­ing to fight for your own rep­u­ta­tion! God’s got your back!

The Hebrew word used here for integrity is tawm, mean­ing com­plete. The sim­plest illus­tra­tion in our own lan­guage would be the word inte­ger, mean­ing a whole num­ber. In other words, not a frac­tion!

Inte­ger and integrity are related terms in our lan­guage, and the con­cept in Hebrew is the same—wholeness or com­plete­ness. It means I am not splin­tered by double-​​mindedness, nor com­pro­mised or eroded by per­sonal dis­hon­esty with myself.

Integrity is derived from a math­e­mat­i­cal term mean­ing “a whole number.”

Once a num­ber is frac­tioned, or divided, it is no longer a whole num­ber. I’ve often told our church 99.9% truth is a lie. Why? It’s only a frac­tion of the truth!

Are you liv­ing in true integrity? If so, your feet will not slip and God will vin­di­cate you.

Here’s a few integrity points I’d like to leave you with:

  • Char­ac­ter is the sum total of every day choices.
  • In any given sit­u­a­tion, what you are deter­mines what you see; and in any given sit­u­a­tion, what you see deter­mines what you do.
  • Pri­vate vic­to­ries pre­cede pub­lic victories.
  • Per­son­al­ity has the power to open doors. Char­ac­ter keeps them open.
“Char­ac­ter is like a tree and rep­u­ta­tion is like a shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing.” (Abra­ham Lin­coln)

Source: Scott Jones

THINGS I WISH I HAD KNOWN — part 1

I stepped into full-​​time min­istry at the age of 19. Next month, on Decem­ber 28, I’ll turn 44 (I accept gift cards, cash and checks!). Reflect­ing over 25 years of min­istry expe­ri­ence, there are things I wish I had learned either from a text book, or sem­i­nar. Instead, I had to learn it by liv­ing it. This will be the first of a a few things I wish I had known when I began my ministry.

I’d like to start by giv­ing you a 20 sec­ond test. Are you ready for that? I know you were sim­ply surf­ing by and landed on my blog. The last thing you intended to do was take a test; but humor me.

Time yourself…20 seconds…ready? Here’s the ques­tion: When I say “Go,” you’ve got 20 sec­onds to write the titles of up to 5 ser­mon titles that have impacted your life. At the end of 20 sec­onds, stop wher­ever you are. Start imme­di­ately and don’t cheat now, or you’ll miss the effect. I’m trust­ing you. Are you ready? Go!

(20 sec­onds later) Well? How’d you do?

I tell you what, before we con­tinue, let’s take another 20 sec­ond test. This time, when I say “Go,” you’ve got 20 sec­onds to write down the names of up to 5 peo­ple who have impacted your life. Once again, I’m trust­ing you. Are you ready? Go!

(20 sec­onds later) How did you do on that part?

Let me ask you this — how many ser­mon titles did you write down in 20 sec­onds? When doing this in sem­i­nars and other teach­ing set­tings, the aver­age amount of titles I find writ­ten is 2 to 3.

But now let me ask you — how many peo­ple did you write down in 20 sec­onds? With­out ques­tion, every time I do this in a teach­ing set­ting the major­ity of the peo­ple present have 5 names writ­ten down.

Think about that. Over your life­time you have heard ser­mons that have inspired and chal­lenged you. But when I asked for a quick response, you couldn’t recall 5 titles. How­ever, people’s names come quickly.

What’s my point? CHRISTIANITY IS CAUGHT, NOT TAUGHT.

After 25 years of min­istry, I’ve finally learned that it is not the words I say in the pul­pit, but the life I live day-​​in-​​day-​​out. It is the Gospel lived out in shoe leather, rather than that preached out of book leather, that most impacts people’s lives.

I love preach­ing. Lis­ten­ing to great preach­ing is a high form of enter­tain­ment for me. Give me a mas­ter ora­tor, who can bring the Word with life, rev­e­la­tion, humor and intrigue, and I’m totally mes­mer­ized. But a few months later, don’t ask me the ser­mon title. I can’t recall. That moment is over.

On the other hand, ask me about Eddie Low­ery. Eddie was my Boy Scout troop leader when I was a Junior High teen. Eddie lived a Godly Chris­t­ian life in front of me and my pals and I’ll never for­get him.

He let me work at his gas sta­tion once or twice on a Sat­ur­day. This was back in the day when a gas sta­tion was a gas sta­tion, not a depart­ment store. A full-​​service sta­tion meant you never had to get out of your car. I pumped gas, cleaned wind­shields, checked the flu­ids under the hood,and got to run the man­ual credit card machine that made the “shick-​​shick” sound as you pulled the han­dle back and forth. If you wanted gum, I’d have to give you the piece I was chew­ing. We only sold gas and oil.

There’s been other men and women who’ve also impacted me far beyond any ser­mon I’ve ever heard. The list is too long for a blog, but the results are the same. Each per­son invested time and inter­est in me. They walked out the Word. They encour­aged me and shared life-​​lessons. They made sure I knew they cared.

Let me say it again, Chris­tian­ity is caught, not taught. Live a life that brings glory to God and is an exam­ple to others.

Noth­ing is more con­fus­ing than peo­ple who give good advice but set bad exam­ples. Nor­man Vin­cent Peale

That is so true. Noth­ing negates the mes­sage and promise of the Word like an incon­sis­tent life by the mes­sen­ger. Don’t just tell me what to do, show me.

Areas to model:

a) Godly living.

Holi­ness is con­for­mity to the char­ac­ter of God and obe­di­ence to the will of God. Rather than tell it, show oth­ers how pas­sion­ate you are about Christ and how pow­er­ful the Chris­t­ian by your own life.

b) Fam­ily first.

Abra­ham was cho­sen to be a bless­ing to the whole earth, but it was to begin in the sim­plest of ways. He started by putting fam­ily first.

He was called to teach his own house­hold, who again would hand down the truth to their house­holds. His being a bless­ing to the world depended on his being a bless­ing to his own home.

The list of casu­al­ties in pas­tors’ homes is too long and painful to think about. I have made a self-​​covenant that I will not lose my fam­ily while try­ing to when other fam­i­lies to the Lord.

c) Min­istry excellence.

The first step to equip­ping oth­ers is excel­lence in min­istry. I am of the belief that excel­lence hon­ors God.

So I’m going to con­tinue to work on my ser­mon deliv­ery and style. I’ll keep study­ing and striv­ing to be the best I can be in the pul­pit. But along the way, I’m going to make sure I’m walk­ing out what I’ve been talk­ing about. Because I now know I will reach more by how I live than by what I say.

It’s the Gospel in shoe leather, rather than book leather, that will truly touch our world.

It’s my prayer that some day some­one will list my name when they take the 20 Sec­ond Test.

source: Scott Jones

Friday, November 20, 2009

Menangkan peperangan sehari-hari

Orang yang mencapai keberhasilan sehari-hari telah belajar untuk menaklukkan empat kebiasaan yang membuang-buang waktu

Kemalasan:
Waktu dipakai untuk tujuan yang tidak berguna, bahkan bukan untuk istirahat

Penundaan:
Mengesampingkan hal-hal yang seharusnya telah dikerjakan sekarang

Gangguan:
Waktu terbuang untuk hal kecil-kecil dari masalah sepele, sehingga memperbesar masalah yang utama

Ketidaksabaran:
Kurang persiapan, kurang teliti atau kekerasan hati, biasanya mengakibatkan kesalahan penggunaan waktu

Wednesday, October 21, 2009

Perubahan sikap kunci menuju potensi maksimal

Salah satu hamba Tuhan, Pdt. Martinus Liur menceritakan kisah tentang seekor gorila yang dipelihara dari kecil di kebun binatang. Gorila tersebut diambil dari hutan karena dibunuh induknya oleh pemburu. Gorila itu dipelihara dalam kandang berukuran kira-kira 10x10 m2.

Setelah hidup bertahun2 dlm kandang tersebut.Suatu hari gorila tersebut dilepas ke alam habitatnya di mana dia berasal. Ternyata gorila ini tidak ke mana-mana kecuali mondar mandir menurut pola seperti dalam kandang 10x10 m2 tersebut.

Begitu juga hidup kita, sikap dan perilaku kita yang bertahun-tahun menguasai hdup kita. Sikap dan perilaku ini yang menentukan seberapa potensi kita berkembang. Potensi tidak akan pernah melebihi daripada sikap dan perilaku kita. Bila sikap dan perilaku kita hanya "10x10m2" maka begitpula potensi kita hanya "10x10m2"

Jadi sikap adalah kuncu menuju potensi maksimal kita, Semakin buruk sikap dan perilaku kita semakin sulit juga mencapai potensi maksimal kita. Potensi hidup kita tergantung sikap kita

Pertanyaan refleksi: temukan sikap kita yang seringkali menghambat untuk mencapai potensi maksimal kita?

Mari kita renungkan apa kata Firman Tuhan di Amsal 4:20-23

Sikap adalah KEBIASAAN BERPIKIR berdasarkan nilai-nilai(benar atau salah) yang telah merembes ke dalam jiwa kita

Allah ingin kita menjaga hati(sikap) kita dengan Firman Tuhan. Pastor Jack Hanes menjelaskan kata "terpancar kehidupan" dlm bahasa aslinya berarti "batas-batas kehidupan" Jadi sikap menentukan batas kehidupan kita. Jika ingin batas kehidupan kita diperlebar maka kita harus mengubah sikap kita. Perubahan sikap paling efektif bila ada dalam komunitas pemberdayaan (empowering community) yaitu komunitas yang masing-masing anggotanya saling membantu agar yg lain mencapai potensi maksimalnya. Sikap juga yang menentukan apakah kita jadi berkat atau tidak.

Rencana:
up : Kebiasaan berpikir apa yg harus dirubah agar semakin intim dgn Tuhan
in : Kebiasaan berpikir apa yg harus dirubah agar saya semakin bisa mengasihi diri sendiri
out: kebiasaan berpikir apa yg harus dirubah agar saya bisa mengasihi orang lain tanpa dikontrol atas situasi

Perenungan diedit seperlunya dari THCC : berubah

Tuesday, August 04, 2009

KADANGKALA HIDUPMU MENANGIS

KADANGKALA HIDUPMU MENANGIS

Kadangkala hidup mengharuskanmu menangis tanpa sebab. Kamu merasa sudah berbuat baik dan benar, tetapi masih banyak kritikan yang dialamatkan kepadamu. Kamu mengira keputusan yang kamu ambil sudah tepat, ternyata perkiraanmu keliru.

Jangan putus asa !! Bangkitlah !!


Matahari tanpa sinar tidak layak disebut matahari. demikian juga dirimu. kau adalah matahari yang seharusnya memancarkan sinar, sekalipun mendung kelabu menutupi pandangan orang untuk melihat keindahan cahayamu.


AKU sering melihat melihatmu marah ketika kamu melihat orang lain berhasil.
Untuk apa kamu menginginkan keberhasilan orang lain?

Bukankah AKU sudah menyediakan suksesmu sendiri?

Kamu tidak pernah mengejarnya, jadi kamu tidak pernah bisa memilikinya.

Matamu tidak terfokus kepada rancangan-Ku yang dahsyat atas hidupmu, melainkan tertuju kepada karya-Ku yang luar biasa atas hidup orang lain.


Jadilah seperti air..Selalu mengalir...melewati semua benda, menembus semua sisi dan tanpa batas.


Anak-Ku,,,jangan mau dikalahkan oleh keadaan,,tetapi kalahkan keadaaan !!

Anak-Ku yang terkasih,,,jangan sakit hati ketika kau ditegur, padahal kau merasa sudah mengerjakan yang terbaik.


Sakit hati itu hanya akan membuat tidurmu tidak nyenyak dan perasaanmu tidak nyaman.



Buanglah itu dari hatimu dan pikiranmu !


Kuasailah dirimu sedemikian rupa hingga kamu bisa mengatasi perasaan diperlakukan tidak adil, dilecehkan, diremehkan ataupun dikhianati oleh sesamamu.

Bukankah untuk itu kau hidup? untuk melihat kenyataan bahwa di dunia ini yang paling mengerti perasaanmu dan menerima dirimu apa adanya hanya AKU?

Jauhilah segala bentuk kemarahan, tetapi jangan jauhi AKU.
Anak-Ku, ingatlah hal ini baik-baik. Aku selalu mebuka tangan-Ku lebar-lebar untuk memberimu rasa aman, kapanpun kau membutuhkannya.
AKU senantiasa menyiapkan bahu untuk tempat kepalamu bersandar dan mencurahkan tangis.
AKU melakukannya karena AKU sungguh-sungguh peduli padamu !!

Ayah yang selalu mengasihimu, ,

YESUS

(Sumber : Elia Groups)

Friday, July 03, 2009

Lepaskan pegangan anda

Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

Amsal 3:5

Suatu hari, Kerry Shook, penulis buku "One Month to Live" mengajak putranya bermain ke taman. Begitu sampai di taman, putranya Josh langsung berlari ke arah permainan yang paling di sukainya, sebuah palang untuk bergantung.

"Tolong angkat aku untuk bergantung di palang ini," demikian pintanya pada sang Ayah.

Kerry lalu mangangkatnya, dan tangan kecil Josh langsung berpegang erat pada palang tersebut tanpa dipegang lagi oleh ayahnya.

Kaki kecilnya bergantung sekitar 5 kaki di atas tanah, dan Josh terlihat begitu bangga bisa kuat bergantung disana. Sekitar beberapa menit kemudian, dia mulai lelah dan meminta di turunkan.

"Ayah, tolong turunkan saya."

Ayahnya menjawab,"Josh, lepaskan saja peganganmu dan aku akan menangkapmu."

Terlihat segurat keraguan di wajahnya, dia berkata,"Tidak, turunkan aku."

Kembali Kerry berkata,"Josh, jika kamu lepaskan peganganmu, aku akan menangkapmu."

"Tidak, turunkan aku."

"Josh, aku mencintaimu. Aku janji, aku akan menangkapmu."

Bagi Kerry ini adalah kesempatan untuk mengajar Josh bahwa dia bisa mempercayai ayahnya. Josh hanya perlu melepaskan pegangan pada palang itu, dan ayahnya akan menangkapnya. Tetapi pria kecil itu bertahan dengan seluruh kekuatannya bergantung di palang itu. Dia berpegangan hingga tangannya mulai kelelahan dan tidak bisa bertahan lagi. Akhirnya dia lepaskan pegangannya dan dia ditangkap oleh ayahnya.

Sebuah senyum mengembang diwajahnya, dia diturunkan ke tanah oleh ayahnya dan langsung berlari untuk bermain ayunan.

Pelajaran untuk Josh telah selesai, namun ayahnya, Kerry tiba-tiba mendengar suara Tuhan dengan jelas yang berbicara kepadanya.

Seperti itulah hubunganmu denganKu. Kamu sering berpegangan dengan suatu keputusasaan pada palang kehidupanmu, coba melakukan sesuatu dengan kekuatanmu sendiri. Kamu mengalami pergumulan yang tiada akhir, mencoba mengendalikan semua situasi. Kamu bertahan dan berpikir bahwa tidak ada orang yang akan menangkapmu sehingga kamu pikir lebih baik kamu bertahan di palang tersebut dan mempererat pegangan. Ketika kamu lelah bergantung, dan tanganmu mulai lemah, Aku berkata, "Lepaskan pegangan, dan Aku akan menangkapmu. Lepaskan peganganmu. Aku janji, Aku mencintaimu dan akan menangkapmu.

Seringkali kita mencoba mengerjakan segala sesuatu dengan kekuatan kita sendiri, berpikir sebaiknya kita kekiri, ketika Tuhan berkata ke kanan.

Hari ini Dia berkata, "Aku membentukmu dengan tanganKu sendiri. Aku menciptakanmu dengan sebuah tujuan, dan Aku mati untuk menebusmu. Mengapa kamu tidak bisa mempercayaiKu? Aku memberikan hidupKu untukmu. Aku Tuhan atas alam semesta ini. Kamu hanya perlu melepas peganganmu, dan Aku akan menangkapmu."

Bapa sorgawi ingin Anda dan saya untuk mempercayainya. Jika Anda berkeras untuk mengendalikan keadaan Anda sendiri, berjuang dengan kekuatan Anda sendiri, merencakan apa yang baik menurut pikiran Anda sendiri, Anda akan kelelahan. Anda akan kehabisan daya.

Ini adalah saatnya Anda mengambil sebuah resiko untuk melepaskan pegangan Anda. Ini saatnya untuk mengalami kuasa Tuhan bagaimana Dia menyatakan mukjizatnya dalam hidup Anda bahkan pada bagian-bagian yang tidak pernah Anda pikirkan sebelumnya.

Mempercayai Tuhan membutuhkan keberanian, hal itu di butuhkan iman. Namun mempercayai Tuhan tidak akan pernah merugikan. Memang, jantung Anda akan sedikit deg-degan, tapi percayalah Dia selalu tepat waktu dan tidak mungkin meleset untuk menangkap Anda. Waktu Tuhan selalu indah, dan Dia dapat dipercaya.

sumber:jawaban.com

Thursday, June 25, 2009

Generasi Sekarang Adalah Generasi Paling Buta Alkitab

Beberapa pemimpin Kristiani mengatakan generasi ini adalah yang paling buta Alkitab dalam sejarah. Masalahnya: pemuda/i Kristiani mengarahkan kehidupan mereka dengan budaya populer dan bukannya Alkitab.

Akibat-akibatnya dapat menghancurkan, tidak hanya bagi Gereja, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.

CBN News berbicara dengan orang-orang muda secara acak di pantai:

CBN News: Bisakah Anda menyebutkan tiga dari 10 perintah kepada saya?
Pemuda: Nope.
CBN News: Bisakah Anda menyebutkan satu dari 10 perintah kepada saya?
Pemuda: Nope.
"Bisakah Anda menyebutkan nama kitab pertama dari Alkitab?" kami bertanya kepada pemuda lainnya. "Perjanjian," jawabnya.

Kepada seorang pemudi, kami bertanya, "Apakah menurut Anda, Anda bisa masuk Surga dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik?"
"Saya pikir ada mutiara-mutiara di Surga, seperti bonus point, you know," jawabnya.

Masyarakat Yang Buta Alkitab
Sangatlah jelas bahwa kebanyakan warga Amerika - termasuk warga Kristianinya yang tidak mengetahui Alkitab mereka. Lihatlah angka-angka dari studi terbaru:
• Lebih dari 60 persen warga Amerika tidak bisa menyebutkan setengah dari 10 Perintah Tuhan atau empat Injil dari Perjanjian Baru.
• Delapan puluh persen termasuk yang "lahir baru" Kristian mempercayai bahwa "Tuhan menolong orang-orang yang menolong diri mereka sendiri" adalah kalimat langsung yang ada di Alkitab.
• Dan 31 persen darinya mempercayai bahwa orang baik bisa memiliki jalannya sendiri ke Surga.
Menurut studi George Barna terbaru, kebanyakan yang mengklaim sebagai Kristiani tidak mempercayai bahwa setan atau Roh Kudus itu eksis. Dan meskipun Alkitab sudah sangat jelas mengenai sifat dasar Kristus yang tanpa dosa, 22 persen mempercayai bahwa Yesus pernah berdosa selama ia di dunia.

"Saya tidak berpikir bahwa Ia tanpa dosa," seorang pria berkata mengenai Yesus.
"Atas dasar percaya apa," kami bertanya.
"Opini saya," ujarnya.

"Jika Anda buta Alkitab, Anda akan jatuh ke setiap jenis dosa, dan setiap masalah dan itu adalah masalah dari bangsa kita," uajr Dr. Vinson Synan, dekan emeritus dari Regent University School of Divinity.

"Jika Anda mengetahui Alkitab, jika Anda mengetahui Sepuluh Perinta Tuhan, itu semua adalah peringatan-peringatan hidup, hingga kita bisa menjalani kehidupan yang indah," tambahnya.

Terbuka kepada Dusta?
Lou Engle, pendiri kegerakan doa The Call mengatakan tidak mengetahui kebenaran mudah membuat orang tersebut diserang dusta.

"Jika Anda menyingkirkan kebenaran, Anda melangkah ke dunia akan kebohongan dan pada akhirnya, Anda berpikir Anda berjalan bersama Tuhan tetapi Anda tidak berjalan dengan Tuhan," ujar Lou.

Lou Engle menegaskan bahwa ada bahaya besar dengan menjadi "spiritual" tetapi tidak mengetahui Firman Tuhan.

"Yesus mengatakan, ‘Ada tertulis' ketika ia digoda! Generasi ini harus mengatakan, ‘Ada tertulis.' Harus diketahui akan Firman itu jika mereka ingin mengalahkan musuh!"

Reading BibleKetika ditanyakan apakah ia membaca Alkitab, seorang pemuda di pantai mengatakan, "Saya memang membaca Alkitab. Saya rasa itu adalah hal baik untuk mendasarkan hidup Anda kepadanya."

Kami juga bertanya kepada yang lainnya apakah penting bagi seorang muda untuk mengetahui Firman Tuhan?

"Itu bisa sangat menolong Anda. Jika Anda tidak berdiri untuk sesuatu, Anda bisa jatuh karena hal apapun," seorang wanita muda merespon.

Tetapi sekarang, kebanyakan Kristiani tampaknya jatuh untuk budaya populer. Contohnya, perceraian sudah menjadi hal yang biasa di rumah-rumah Kristiani seperti yang non-Kristiani. Dan bertumbuhnya jumlah evangelikal yang mendukung pernikahan sesama jenis.

"Apa yang kita temukan adalah sebuah generasi yang telah diajarkan relativitas moral," ujar Engle. "Pastor-pastor kami dipenuhi dengan relativitas moral karena mereka belum mengajarkan mengenai kebenaran Firman Tuhan atas generasi ini."

Kekeringan Firman
Engle juga menunjukkan jarinya kepada para orang-tua. "Itu adalah para ayah dan para ibu. Keluarga adalah akar dari sebuah bangsa. Jika Anda tidak mengajarkan anak-anak kebenaran, maka kita akan kehilangan itu," ujarnya. "Dimulai dari situlah bermula dari para pastor dan masyarakat."

Dr. Synan mengatakan masalah sebenarnya adalah kelaparan - bukan sebuah kelaparan akan makanan, tetapi kelaparan akan Firman Tuhan.

"Amos pasal 8 mengatakan kepada kita bahwa akan tiba waktunya, akan terjadi kelaparan, bukan kelaparan akan roti atau haus akan air, tetapi akan mendengar Firman dari Tuhan," ujarnya.

"Bagian tersedih adalah para gadis dan pemuda akan pingsan karena kehausan," ujarnya. "Itu tidak menunjuk kepada generasi yang lebih tua, tetapi menunjuk kepada orang muda. Mereka idealis. Orang-orang muda membutuhkan sesuatu untuk dihidupi dan satu-satunya hal yang dapat memuaskan kelaparan, adalah Firman Tuhan."

Sumber : jawaban.com

Wednesday, June 17, 2009

Hidup dalam kekudusan

1 Petrus 1:13-16
Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

Salah satu definisi kekudusan adalah berada dalam keadaan murni. Dalam bahasa Ibrani, kudus adalah "kadosh" artinya naik lebih tinggi. Dalam bahasa Inggris, definisi kudus adalah "cut above" artinya di atas rata-rata. Tuhan memanggil kita untuk naik ke standar-Nya, untuk hidup sebagaimana Dia hidup dan berpikir sebagaimana Dia berpikir. Inilah panggilan Tuhan bagi gereja-Nya: "Kuduslah kamu, sebab Aku kudus".

Orang yang sombong berpikir bahwa ia dapat mencapai kekudusan dengan mengandalkan kekuatannya untuk mentaati berbagai peraturan. Sebaliknya, orang yang rendah hati tahu bahwa ia tidak dapat mencapainya. Ia bergantung pada anugerah dan kekuatan Allah; dan Allah memberikan anugerah kepada orang yang rendah hati. Kekudusan adalah pekerjaan anugerah Allah, bukan hasil kekuatan daging. Sebab tanpa kasih karunia Tuhan, tidak ada orang yang mampu hidup dalam kekudusan. Namun demikian, seringkali kita berpikir, apakah mungkin hidup kudus?

Roma 12:1
"Karena itu, saudara-saudara demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati."

Dalam alkitab versi NKJ, "ibadahmu yang sejati" dikatakan sebagai ''your reasonable service". Reasonable artinya dapat dijangkau, berada dalam jangkauan kemampuan. Dengan kata lain, hidup dalam kekudusan adalah kehidupan yang dapat dijangkau dan merupakan kehidupan Kristen rata-rata, bukan sesuatu yang mustahil. Nah, bagaimana kita dapat hidup dalam kekudusan?

1. Hidup Dalam Takut Dan Hormat Akan Tuhan

Ibrani 12:28
Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.

2. Belajar Firman Tuhan

Belajar firman Tuhan sebab Firman adalah ilham Allah.

2 Timotius 3:16
Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.

Dalam bahasa Gerika, ilham adalah "Teos neuma" artinya nafas Allah.

3. Memperbarui Pikiran Dengan Firman

Roma 12:2
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Dalam bahasa Inggrisnya "be transformed" artinya menyeberang dari dunia, naik ke tempat yang lebih tinggi. Sekalipun kita hidup di dunia, tetapi berjuang untuk bersikap sama seperti Tuhan.

4. Fokus Pada Karakter Tuhan Dan Bukan Pada Peraturan-Nya

Karena peraturan mematikan, tetapi karakter dan kasih karunia-Nya memampukan kita hidup kudus. Law gives you the picture of holiness, but grace gives you the power to live holy.

Ketika Tuhan memberi perintah, maka Dia juga akan memberikan kasih karunia-Nya agar kita mampu melakukan perintah-Nya. Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

sumber: Indri Gautama

Monday, June 15, 2009

Bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan

Semua orang pasti rindu bertumbuh. Ada banyak orang yang ingin sekali bisa bertumbuh tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya sehingga mereka sendiri tidak bisa bertumbuh. Supaya dapat bertumbuh, kita perlu mengikuti tiga langkah dan urutannya mesti sesuai, tidak boleh di bolak-balik.

Untuk bisa bertumbuh, kita perlu mengenal Allah. Karena kalau kita tidak mengenal Dia, kita tidak bisa dekat sama Tuhan. Kita tidak bisa tahu siapa Allah kita sebelum kita mengenal Dia. Karena itu sangat penting bagi kita untuk mengenal Dia.

Setelah mengenal, baru kita bisa mengasihi Allah. Orang Indonesia punya pepatah ‘tak kenal maka tak sayang'. Jadi kalau kita tidak mengenal Allah, kita tidak bisa mengasihi Allah. Makin kita mengenal Allah, makin kita mengasihi Allah. Jadi langkah pertama itu penting sekali, mengenal dulu baru kita mengasihi. Semakin mengenal semakin mengasihi.

Kalau kita sudah mengasihi, baru kita ikut langkah yang ketiga namanya melayani. Kalau pelayanan itu adalah hasil dari kasih kita kepada Tuhan, pelayanan kita pasti dahsyat. Pelayanan kita akan menghasilkan buah, menghasilkan dampak. Gawatnya banyak orang percaya yang membalik langkah-langkah ini. Mereka tidak mengenal Allah dulu. Tidak mengasihi Allah dulu. Begitu mereka masuk gereja, disuruh melayani dulu. Mereka melayani tapi pelayanannya bukan hasil dari kasih. Akibatnya ketika menghadapi persoalan dan tantangan mereka pun mundur. Tadinya aktif melayani tapi sekarang tidak melayani lagi.

1. Mengenal Allah

Mengenal Allah itu penting sekali. Kalau kita tidak mengenal Allah, kita tidak bisa betul-betul percaya kepada Tuhan. Bagaimana kita bisa percaya kepada seseorang yang tidak kita kenal?

Yohanes 17:3
Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.

Ternyata hidup kekal itu adalah sama dengan mengenal Allah. Dulu saya berpikir hidup kekal itu adalah kalau kita ke gereja, kita dapat tiket masuk sorga. Saya pikir saya pasti masuk surga karena saya sudah ke gereja. Ternyata tidak! Ada orang yang rajin ke gereja tapi dia tidak pernah mengenal Allah. Karena sebenarnya hidup kekal itu ada melalui pengenalan kita akan Allah. Kalau pengenalannya salah, kita tidak akan masuk surga. Kalau pengenalannya benar baru kita masuk surga. Jadi mengenal Allah itu penting sekali. Ayat ini mengatakan, ‘Inilah hidup yang kekal itu, yaitu mereka mengenal Engkau satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus'. Jadi mengenal Allah itu berarti kita harus mengenal Yesus Kristus. Tapi jangan lupa, yang akan membawa kita kepada pengenalan akan Allah yang ‘satu-satunya' itu adalah melalui Yesus Kristus. Melalui Yesus Kristus kita di bawa kepada Bapa.

Mengenal Allah harus dimulai setelah kita diselamatkan oleh Tuhan Yesus dan kita harus mengenal Allah sebagai Bapa kita. Karena yang mengutus Yesus Kristus itu Bapa. Kita harus mengenal Bapa karena Yesus datang membawa kita kepada Bapa. Yesus bilang begini, ‘Akulah jalan, kehidupan dan kebenaran. Tanpa melalui Aku kamu tidak akan sampai kepada Bapa'.

Banyak dari kita yang belum mengenal Bapa. Saat ini Tuhan mau membawa kita untuk mengenal Allah sebagai Bapa. Karena kalau kita mengenal Allah sebagai Bapa, wuih dahsyat sekali!! Hidup kita berubah!! Kita bisa kuat atau tidak dalam menghadapi permasalahan hidup ini, itu tergantung dari bagaimana pengenalan kita akan Allah.

Sewaktu kita menghadapi persoalan, kalau kita tidak mengenal Tuhan, kita tidak bisa mempercayai Tuhan. Sehingga kita temukan banyak orang kalau ada persoalan, cari dukun, lari dari masalah, pergi meninggalkan masalah. Mereka tidak percaya sama Tuhan karena mereka tidak kenal Tuhan. Kalau kita mengenal Tuhan, kita tidak akan pernah cari dukun. Karena itu mengenal Allah itu sangat penting.

Kalau kita mengenal Tuhan, kita bisa mempercayakan diri kepadaNya. Percaya dengan mempercayakan diri adalah dua hal yang berbeda. Ada orang yang sampai pada tahap percaya saja. Itu bagus! Tapi tidak cukup sampai di situ. Kita juga harus mempercayakan diri. Contohnya seperti ini. Ada orang yang percaya sama Tuhan. Tapi ketika ada masalah, ia mempercayakan dirinya kepada dukun, kepada akal pikirannya sendiri. Nah, percaya dengan mempercayakan diri itu beda. Kalau kita percayanya benar, mempercayakan dirinya juga pasti benar. Bukti kepercayaan kita kepada Tuhan adalah kalau kita berani untuk mempercayakan diri kepadaNya. Kalau kita mengenal Bapa, memiliki pengalaman dengan Bapa, kita pasti akan berani untuk mempercayakan diri kita kepadaNya. Itulah sebabnya Tuhan mau kita mengenal Allah dan mengenalNya sebagai Bapa.

Kalau kita kenal Dia sebagai Bapa, itu merupakan hal yang sangat indah. Karena seorang ‘bapa' tahu semua kebutuhan kita. Seorang ‘bapa' itu mengerti apa yang menjadi kebutuhan anaknya. Tidak ada ‘bapa' yang anaknya memiliki kebutuhan tapi dia tidak tahu. Bapa kita di surga lebih hebat dari bapa kita yang ada di dunia ini. Alkitab bilang begini, ‘rambutmu sekalipun dihitungnya'. Waktu kita kecil, pernah tidak bapa kita menghitung rambut kita? Saya belum pernah melihat ada bapa yang berhasil menghitung rambut anaknya. Tapi Bapa kita yang di surga, sesibuk apapun Dia, Bapa masih sempat hitungin rambut! Itu hebatnya! Bahkan Dia bilang begini, ‘tidak ada sehelai rambutpun yang jatuh tanpa seijin Bapa'. Berarti satu helai rambut saja diurusin sama Bapa. Itu kebenaran yang luar biasa! Artinya Bapa betul-betul memperhatikan kita sampai hal-hal yang paling detail sekalipun. Bapa kita yang di surga memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan kita.

Kita mungkin mempercayai Allah sebagai Bapa. Tapi apakah kita pernah mengalaminya sebagai Bapa kita? Karena ada orang Kristen ‘katanya'. Mereka dalah orang-orang Kristen yang tidak pernah melihat atau mengalami Allah sebagai Bapa. Karena itu ada orang yang percaya kepada Tuhan tapi mereka tidak bisa mempercayakan diri. Karena mereka cuma percaya di pikiran saja. Untuk percaya di dalam hati, kita harus mengalami Tuhan dan memiliki pengalaman dengan Tuhan. Kalau kita sudah memiliki itu, barulah kita bisa masuk pada langkah yang kedua yaitu mengasihi Allah dan akhirnya melayani Dia.

Di dalam pengenalan kita akan Tuhan, kita harus mengalami dan memiliki pengalaman dengan Tuhan. Setelah kita sudah memiliki itu kita bisa melanjutkan pengenalan kita akan Allah dengan mengasihiNya dan akhirnya melayani Dia.

2. Mengasihi Bapa

Mengasihi Bapa merupakan hal yang paling penting karena merupakan hukum yang terbesar. Di dalam Firman Tuhan dikatakan hukum yang terbesar, yang terutama itu adalah kasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap pikiranmu, segenap jiwamu, segenap kekuatanmu. Artinya dengan segenap keberadaan saudara, kasihilah Tuhan!

Tapi sering kita tidak bisa mengasihi Tuhan karena kita kurang mengenal Dia. Kalau kita mengenal Tuhan, gampang bagi kita untuk mengasihiNya. Kalau engkau merasa sulit untuk mengasihi Tuhan, belajarlah mengenal Tuhan. Kasih yang kita terima dari Bapa membuat kita tidak hanya bisa mengasihi Tuhan, melainkan kita juga bisa saling mengasihi. Engkau rindu keluargamu berbahagia? Engkau mau supaya hidupmu bisa membangun hubungan? Kenallah Allah! Kalau engkau memiliki kasih dari surga itu, engkau bisa saling mengasihi. Karena memang kasih surgawi itu luar biasa.

Kasih Allah itu dahsyat. Bapa di surga sangat mengasihi kita anakNya. Suatu waktu saya memimpin retreat di Carita, Jawa Barat. Sewaktu saya khotbah, ada seorang ibu yang terus-menerus menangis tiada henti. Semua orang sudah selesai ibadah dan lagi makan siang, tapi ibu ini masuk ke kamar bersama beberapa temannya dan mereka berdoa.

Ibu ini baru dua bulan menjadi orang Kristen. 8 tahun yang lalu, sebelum dia menjadi orang Kristen, suatu hari dia jalan-jalan bersama anaknya di Jakarta. Anaknya itu nakal, umur 4 tahun. Sewaktu sedang berjalan-jalan, tiba-tiba anaknya melarikan diri, melepaskan pegangan tangannya dari ibunya. Anak itu kemudian lari. Anak ini namanya Daniel. Ibu ini kemudian mencari anaknya, Daniel, tapi tidak ketemu. Saudara tahu berapa lama ibu ini mencari anaknya? 8 tahun!! Dia terus mencari anaknya, memasukkan berita anaknya ke koran, lapor ke kantor polisi tapi anaknya tidak pernah ditemukan. Sampai suatu hari, setelah 8 tahun dia cari anaknya, rupanya dua bulan sebelum retreat itu dia percaya Yesus. Ibu ini kemudian di bawa ke retreat itu.

Waktu dia dengar saya khotbah tentang ‘Kasih Bapa', dia ingat anaknya. Hancurlah hatinya. Ketika dia sedang menangis, tiba-tiba di kamar itu ada suara yang mengatakan, "Nak, kamu sudah 8 tahun mencari anakmu tapi tidak ketemu. Tapi AKU, Bapamu, mengasihi engkau. Pulanglah nak sekarang ke Jakarta. Pergilah ke Monas karena engkau akan bertemu anakmu di Monas." Saudaraku, dia dengar suara ini untuk pertama kali setelah dia lahir baru. Dia tanya para pemimpinnya apakah ini benar suara Tuhan? Dan mereka semua yakin ini suara Tuhan.

Lalu ibu ini pulang ke Jakarta. Dari Carita dia pergi naik bis sendirian ke Monas. Saudara tahu Monas itu luas, di mana dia bisa ketemu anaknya? Dia mencari anaknya di Monas. Tiba-tiba ada suara lagi, "Nak, pergilah kamu ke bawah pohon beringin itu. Di bawah pohon itulah anakmu ada." Dia ikuti suara itu. Kemudian dia lihat di bawah pohon beringin itu ada seorang anak berumur 12 tahun. Kurus kering, ceking, penuh dengan penyakit kulit. Tidak ada lagi orang yang kenal anak ini. Rambutnya sudah seperti gembel. Anak ini juga tidak memakai sandal. Tetapi seorang ibu tidak pernah lupa sama anaknya. Ibu ini mengenali anak ini sebagai anaknya. Waktu dia lihat anak ini, dia panggil, "Daniel...!!!" Daniel lihat mamanya, dan dia langsung berteriak, "Mama...!!!!!" Mereka berpelukan untuk pertama kalinya setelah 8 tahun. Mamanya bilang, "Daniel, mama cari kamu 8 tahun. Kamu ke mana Daniel? Mama cari kamu, ke kantor polisi, masukin koran, mama tidak pernah menemukan kamu." Daniel bilang, "Mama, saya 8 tahun jadi gembel, hidup di jalanan, tapi saya masih hidup mama." Kisah ini sudah seperti cerita sinetron, tapi ini adalah kisah nyata.

Di surga sana ada Pribadi yang mengasihi kita. Mungkin engkau berkata, "Tuhan, apakah Engkau mengerti aku?" Dengar saudara, ada seorang Pribadi, tidak hanya mengerti saudara, tapi IA sangat mengasihi saudara. KasihNya itu luar biasa! Ibu ini telah mengalami kasih Bapa dan dia menjadi sangat mengasihi Tuhan. Setelah dia mengalami kasih Bapa, dia mengasihi Tuhan. Kalau kita sudah saling mengasihi, barulah kita bisa melayani dengan baik.

3. Melayani Allah

Yohanes 14:10,12
(10) Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.(12) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa;

Saya dulu berpikir kalau pelayanan itu adalah kita melakukan sesuatu untuk Tuhan. Ternyata bukan! Pelayanan itu adalah seperti yang tertulis di dalam Yohanes 14:10. Itu yang Yesus lakukan. Yesus itu adalah contoh untuk hidup kita. Yesus melayani bukan dengan Dia melakukan sesuatu buat Bapa. Bukan! Dia bilang begini, "Apa yang Aku dengar dari Bapa, itu yang Aku katakan. Apa yang Aku lihat Bapa lakukan, itu yang Aku lakukan." Dengan perkataan lain Dia bilang begini, "Bapalah yang melakukan pekerjaan Nya di dalam Aku."

Jadi pelayanan yang dahsyat itu bukan kita melakukan sesuatu untuk Tuhan melainkan Tuhan yang melakukan sesuatu melalui kita. Itu pelayanan yang dahsyat!

Melalui Yohanes 14:12 kita belajar bahwa pelayanan yang paling powerfull adalah kalau kita bisa menunjukkan Bapa ke dunia ini. Menunjukkan Bapa, seperti yang dikatakan oleh Filipus, "Tuhan Yesus, tunjukkan Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup." Dari kata-kata Filipus kita tahu bahwa perkataannya ini mewakili hati dunia ini. Di dalam dunia ini ada suatu kehausan, kevakuman di dalam hati manusia, ada suatu ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apapun kecuali mereka mengenal Bapa. Kalau mereka sudah mengenal Bapa, sudah cukuplah semuanya. Dunia perlu mengenal Bapa. Itulah sebabnya pelayanan yang paling dahsyat adalah memperkenalkan Bapa kepada dunia ini. Pelayanan yang paling efektif adalah menunjukkan Bapa seperti Yesus menunjukkan pekerjaan-pekerjaan Bapa.

Ada sepasang suami istri. Suatu kali, mereka bertemu dengan musuhnya yang sangat anti dengan orang Kristen. Ketika bertemu, anaknya ini dibunuh, dicincang di depan mereka. Kemudian musuh yang anti Kristen ini menangkap sang istri sedangkan suaminya sempat meloloskan diri. Istrinya dijadikan budak sex selama 18 bulan. Saya mau bertanya, kalau saudara ada di posisi mereka, apakah saudara bisa tahan? Waduh, belum tentu. Yang lebih mengenaskan suaminya melihat semua kejadian itu dan dia sulit sekali menerimanya.

Suatu hari istrinya menulis surat. Waktu kami baca suratnya, kami menangis. Istrinya menceritakan bagaimana hancur hatinya waktu menjadi budak sex selama 18 bulan itu. Tapi suatu hari karena suaminya yang terus berdoa dengan dukungan saudara-saudara seiman, melalui pertolongan Tuhan istrinya bisa keluar. Waktu istrinya keluar, dia sudah hamil. Dan anak yang ada di dalam kandungan itu adalah anak musuh mereka. Saya mau tanya, kalau saudara jadi suaminya, saudara bisa menerima istrimu kembali? Tidak gampang! Dan kami juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi ketika suami ini datang sama Bapa di surga, dia dijamah oleh kasih Bapa. Waktu dia dapat jamahan itu, dia datangi istrinya. Dia peluk istrinya dan bilang, "Mama, saya tidak hanya bisa terima kamu sebagai istri saya, tapi saya akan terima anak ini jadi anak saya. Tidak apa-apa meskipun ini anak dari musuh kita, musuh bebuyutan kita, musuh orang Kristen, tapi saya akan didik dia supaya nanti ketika dia besar kelak, dia akan menjadi seseorang yang bisa menginjili mereka-mereka itu".

Kalau ini bukan kasih Tuhan, tidak mungkin ada orang yang bisa melakukan hal ini. Apakah engkau mau mengenal Bapa yang sudah mengutus Yesus Kristus, anakNya itu? Selamat bertumbuh di dalam Tuhan!!

Sumber: Ir. Eddy Leo, M. TH.