"Tidak ada yang terjadi kecuali Anda memimpikannya terlebih dahulu (nothing happens unless first a dream)," kata Carl Sandburg. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan impian adalah adalah titik awal sebuah prestasi. Berdasarkan pengalaman pribadi dan dari apa yang saya pelajari ada sejumlah tahap penting yang diperlukan agar sebuah impian dapat menjadi kenyataan.
Pertama, perjelas impian Anda dan tuliskan. Pada awal mula impian itu mungkin hanya berwujud angan-angan dan Anda mungkin melihatnya secara sekilas dalam imajinasi Anda. Mungkin pada saat itu Anda akan berkata dalam hati Anda, "Keadaan seperti inilah yang aku inginkan."
Jika angan-angan itu ditindaklanjuti dengan perenungan pribadi, diskusi dengan orang lain (misalnya pembimbing Anda), doa dan sebagainya angan-angan itu akan bertambah matang dan menjadi visi. Ketika ia telah menjadi visi, timbul gairah dalam diri sang empunya visi. Persis seperti yang dikatakan Bill Hybels dalam bukunya Courageous Leadership, "vision is a picture of the future that produces passion."
Seiring perjalanan waktu, visi itu akan semakin matang dan membuat Anda tidak sabar untuk segera mewujudkannya. Saran saya, buatlah visi itu menjadi sebuah target yang memiliki unsur S.M.A.R.T, yaitu:
Specific (artinya sespesifik mungkin alias tidak kabur). Misalnya Anda mengatakan ingin jadi orang kaya, Anda harus mendefinisikan secara jelas apa itu kaya. Apakah punya rumah besar, mobil mewah, popularitas atau dapat membantu sebanyak mungkin orang yang membutuhkan. Jika Anda ingin punya mobil, definisikan secara jelas mobil apa. Apakah mobil sedan, jeep, mini bus atau mobil seperti apa? Mereknya apa? Intinya, impian itu harus dapat Anda lihat jelas dalam imajinasi Anda. Tidak samar-samar!
Measurable (dapat diukur atau ada angkanya). Seorang pengusaha pernah menasehati saya, "If you can not measure it, you can not manage it." Saya rasa pernyataan tersebut sangat benar. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar setiap awal tahun selalu memasang target yang jelas mengenai peningkatan omset perusahaan, dan sebagainya. Hal ini juga berlaku bagi impian pribadi Anda. Jika Anda memimpikan sebuah rumah, Anda harus mendefinisikan rumah seharga berapa yang ingin Anda beli, luasnya berapa atau kredit berapa lama? Begitu pun kalau Anda memimpikan mobil, harganya berapa, berapa cc, dan seterusnya.
Achievable (dapat Anda raih). Buktinya sudah ada orang yang meraihnya saat ini atau jika belum ada yang meraihnya, paling tidak hal tersebut logis menurut Anda. Mengapa? Karena bisa jadi, Andalah orang pertama yang meraih hal tersebut. Seperti ketika Orville dan Wilbur Wright berhasil menemukan pesawat terbang padahal sekitar tiga puluh tahun sebelumnya ayah mereka yang kebetulan seorang pendeta dengan tegas menyatakan, tidak mungkin manusia bisa terbang. "Kalau memang Tuhan menghendaki manusia terbang, tentu Ia akan memberikan sayap," kata Pendeta Milton Wright. Sesuatu yang tampaknya tidak masuk akal bagi sang pendeta ternyata dapat diwujudkan oleh kedua putranya.
Realistic (realistis). Artinya sesuai dengan sumber daya yang saat ini Anda miliki atau masih dalam kendali Anda, bukan orang lain. Sebagai contoh, impian saya untuk membuat seminar di angkasa pada awalnya tidak realistis karena saya tidak punya kenalan di maskapai penerbangan. Namun impian tersebut kemudian jadi realistis karena teman saya, Eddy Efendy, pengusaha travel yang saban bulan membawa karyawan berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia untuk berlibur ke luar negeri. Eddy juga memiliki jaringan yang sangat bagus dengan banyak maskapai penerbangan. Alhasil, dengan kerja sama yang kuat, kami dapat mewujudkan impian tersebut.
Time bound (ada batas waktunya). Artinya kapan Anda ingin itu terwujud. Saya sering menemukan banyak orang yang tidak pernah serius dengan impian mereka, termasuk menetapkan kapan mereka ingin impian mereka terwujud. Seorang teman yang sudah setahun wisuda belum juga mendapatkan pekerjaan, ketika ditanya sampai kapan ia akan menganggur, dengan santai menjawab, "Ya, gimana nanti, deh."
Target yang telah Anda tetapkan itu, hendaklah ditulis. Mengapa? Sesuatu yang ditulis akan lebih jelas dan mudah diingat. Menuliskan target Anda seperti membuat komitmen atau kontrak kepada diri Anda sendiri. Saya sendiri membiasakan diri untuk menulisnya di sebuah buku. Kadang-kadang saya suka menulisnya di selembar kertas atau buku agenda saya.
Kedua, uraikan manfaat yang bisa didapatkan jika impian itu terwujud. Jika manfaat itu bisa dituliskan, tentu akan lebih baik. Sebaiknya manfaat itu bukan hanya bagi diri Anda sendiri melainkan juga bagi orang yang paling Anda cintai, orang-orang di sekitar Anda dan sesama lainnya. Semakin besar manfaat yang bisa Anda peroleh maka Anda akan semakin bersemangat dalam menggapainya.
Ketiga, doakan impian Anda tersebut. Mintalah bantuan Tuhan sebab bagaimana pun kerasnya kita bekerja akan sia-sia jika Sang Sumber Segala Rahmat tidak memberkatinya. Terkadang impian kita tidak kunjung terwujud karena bertentangan dengan kehendak-Nya atau memang belum waktunya. Untuk itu, usahakan Anda meluangkan waktu yang cukup sehingga dapat berkomunikasi dengan-Nya mengenai impian Anda ini.
Keempat, identifikasi semua masalah atau hambatan yang kiranya akan Anda hadapi dalam rangka mewujudkan impian tersebut. Tahapan ini ibarat membuat peta perjalanan Anda semakin jelas.
Kelima, identifikasi orang, kelompok orang atau organisasi yang kiranya dapat membantu Anda mewujudkan impian tersebut. Barangkali Anda akan mendapatkan ada orang, kelompok atau organisasi yang dapat bersinergi dengan Anda bahkan bisa jadi mereka memiliki impian yang sama sehingga Anda bisa bekerja sama dengan mereka.
Secara pribadi, saya sangat menghargai data base kenalan saya. Ada beberapa album kartu nama yang saya klasifikasikan secara khusus. Misalnya album kartu nama untuk kenalan yang birokrat, pengusaha, profesional, dsb. Setiap kali saya berusaha untuk memecahkan sebuah masalah atau meraih impian yang besar, saya selalu membuka album kartu nama yang sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Keenam, identifikasi pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang sangat Anda perlukan dalam upaya untuk meraih impian tersebut. Barangkali Anda harus membaca buku-buku tertentu, mengikuti kursus, seminar atau training. Jangan ragu untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Les Brown pernah berkata, "To achieve something you have never achieved before, you must become someone you have never been before."
Ketujuh, buatlah plan of action yakni langkah-langkah yang akan Anda tempuh. Pada tahap ini, Anda perlu mengambil waktu yang cukup untuk menyusun strategi yang ingin Anda tempuh. Pada tahap ini, mungkin Anda harus memecah target Anda menjadi lebih kecil. Misalnya, kalau dalam dua belas bulan ke depan, Anda ingin menurunkan berat badan 12 kilogram, itu artinya tiap bulan Anda harus menurunkan berat badan sekitar satu kilogram. Berdasarkan itu, Anda kemudian menyusun strategi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh Anda makan, jenis olah raga apa yang harus Anda lakukan secara reguler, dan sebagainya. Bisa jadi pada tahap ini, Anda perlu berkonsultasi dengan orang yang lebih ahli.
Kedelapan, action. Jika sebuah impian memang bernilai, ia layak diperjuangkan dengan sepenuh hati. Pada tahap ini, komitmen Anda benar-benar diuji. Seorang teman pernah mengingatkan kalau jarak yang paling jauh adalah dari hati ke tangan. Banyak orang yang hatinya telah terbakar dan tergerak oleh impian, sayangnya tangannya tidak ikut bergerak. Alhasil, semuanya hanya tinggal impian semata.
Kesembilan, jaga sikap mental Anda. Tetaplah berpikir positif dan beranilah bangkit dari kegagalan. Tanggapilah setiap kritik dan masukan negatif dengan sikap bijaksana. Lupakan mereka yang bisanya hanya mengolok-olok dan meremehkan Anda. Sesuatu yang mustahil bagi orang lain, belum tentu mustahil bagi Anda.
Kesepuluh, lakukan evaluasi secara berkala. Sekiranya diperlukan perubahan, jangan ragu untuk melakukannya. Jangan kaku! Bersikaplah fleksibel dalam soal cara atau metode. Temukan, apakah ada cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu sehingga membawa Anda semakin dekat dengan impian Anda?
Sumber: Paulus Winarto
For the first eight years or so of my ministry, I managed to teach, lead, and serve without ever really flexing my heart muscle. I did it all with wit, fancy foot work, and things I had learned from one of the greatest pastors who ever lived.
I knew what a good sermon was and I could preach one; but it was all head, no heart. Most of these sure-fire, get a response sermons, were not my own. They came from others who I had read after or listened to.
I counseled many people and even helped a few. But I was shooting from the hip and never able to truly empathize. The person on the couch got some good one-liners and Hallmark card quotes, but again, there was no passion.
Melanie would often ask me, “Scott, are you happy? Are you challenged? Do you enjoy doing what you’re doing?” I don’t actually recall my response to her questions, but on the inside the answer was a definite “no.” Passion is like oil to an engine, without it you are headed for burn out.
It wasn’t until I went through an incredible breaking process in God’s hands, that I finally found passion in my ministry. The disconnect from heart to head was fixed when I was broken. By the way, I’m thankful my breaking took place in God’s hands. Matthew 21:44 tells us that we can either fall upon the stone and be broken, or the stone will fall on us and grind us to powder.
This actually brings up another thing I wish I had known when I first launched into ministry — God ministers best out of the broken places. My ministry was made and solidified through my brokenness.
People aren’t looking for someone who’s got “it” all together; and besides that, you don’t! So be real. Let people see God as He leaks through the cracks in your life.
Once I connected my heart with my ministry, sermons were no longer just great thoughts captured on tape or written down during a conference, but there was a flow out of the broken places in my heart. It was no longer head knowledge, but heart knowledge that was coming from the pulpit. People could feel the difference and lives were touched.
I remember looking at some of the people I had previously counseled and thinking I should go and apologize to them for the lame — all head, no heart — counsel I had given them. I had lived such a sheltered life I really didn’t know pain, nor did I know how to feel with others. One of the things that makes our Savior so wonderful is that He is a high-priest who can be touched by what touches us.
Let me encourage you, if you have broken places in your life, stop trying to hide the cracks. People don’t need any more fakes or facades…they need to see leadership that does not put on airs of perfection but that of humanity and humility.
Find your passion! Fall upon the stone and be broken in God’s presence. Ask God to move you with what moves Him. As the song says, “break my heart for what breaks Yours.”
Here’s a few passion observations I’d like to leave you with:
For almost all of the eighteen years I have served in ministry, I have monitored myself closely in two areas, continually checking two gauges on the dashboard of my life. Until recently, I thought that was enough.
First, I kept an eye on the spiritual gauge, asking myself, How am I doing spiritually? Apart from Christ I can do nothing. I know that. I don’t want my life’s efforts to be burned up because they were done merely through human effort, clever tactics, or gimmickry. I am gripped by the fact that I must operate in the power of the Holy Spirit.
To keep my spiritual gauge where it needs to be, I have committed myself to the spiritual disciplines: journaling, fasting, solitude, sacrifice, study, and others. Like many Christians before me, I have discovered that these disciplines clarify spiritual issues and pump a high-octane fuel, providing intensity and strength for ministry.
Even though the pace of ministry has dramatically quickened in the past few years, I honestly don’t think I often misread my spiritual gauges. Looking at my life’s dashboard, I can tell when I am spiritually half full, three-quarters full, or, sometimes, full.
When I’m full spiritually, I can look at my life and honestly say I love Jesus Christ and I’m attending to my spiritual disciplines and keeping myself open to the leading of Christ. When I’m spiritually full, I don’t need to apologize for my motives. I can truly say: “I’m not in ministry because it gives me strokes. I’m excited about the fruit being borne through the ministry of Willow Creek.”
Second, I have monitored the physical gauge—How am I doing physically? I know that if I push my body too hard, over time I will experience a physical breakdown or psychosomatic complications associated with high stress.
If I don’t exercise, eat properly, and rest, I will offer the Lord only about two-thirds of the energy I have the potential of giving. The Holy Spirit tugs at me to be wholly available—mind, soul, and body—for the work to which he has called me. Consequently, I have committed myself to the physical disciplines of running and weight lifting. I closely watch what I eat. And I receive regular medical check-ups.
Since these spiritual and physical gauges—the only two on my dashboard—have consistently signaled “go,” I have pushed myself as hard and fast as possible. But recently a different part of my engine began to misfire.
While preparing for a particularly difficult series of sermons, the message that week wouldn’t come together. No matter how hard I tried, no ideas seemed worth saying. Suddenly I found myself sobbing with my head on my desk.
I’ve always been more analytic than emotional, so when I stopped crying, I said to myself, “I don’t think that was natural.” People who know my rational bent laugh when I tell them that. Individuals more aware of their feelings might have known what was wrong, but I didn’t.
All I knew was, Something’s not right with me, and I don’t even have time now to think about it. I’ll have to journal about this tomorrow. I forced my thoughts back to the sermon and managed to put something together for the service. But the next morning as I wrote in my journal I considered, Am I falling apart in some area spiritually? My gauges said no. My practice of the disciplines seemed regular, and I didn’t sense a spiritual malaise. Physically, am I weak or tired? No, I felt fit.
I concluded that maybe this was my mid-life crisis, a phase I would simply have to endure. But four or five similar incidents in the next few weeks continued signaling that my anxiety and frustration could not be ignored.
Then I noticed I was feeling vulnerable—extremely temptable—in areas where I hadn’t felt vulnerable for a long time. And the idea of continuing on in ministry seemed nothing but a tremendous burden. Where had the joy gone? I couldn’t bear the thought of twenty more years of this.
Maybe God is calling me to a different kind of work, I thought. Maybe he’s getting my attention by these breakdowns in order to lead me to a different ministry. Maybe I should start another church or go back into a career in the marketplace.
At that time, the church was deciding whether to take on a major building expansion, which intensified my feelings. I knew that if we moved ahead, it would be unconscionable for me to leave the senior pastorate until the expansion was complete. Yet when I looked honestly at whether I wanted to sign up for another three or four years, the answer scared me. It was a big fat no.
You don’t feel like it anymore? I asked myself in disbelief. You want to bail out? What is happening to you? Maybe I did need a change of calling.
Whatever it was, I was astounded that I could be coming apart, because I put so much stock in the spiritual and physical gauges, and neither of them was indicating any problem.
After a Christmas vacation that didn’t change my feelings, I began to seriously inspect my life. After talking with some respected people, I learned that I had overlooked an important gauge. The spiritual and physical aspects of life were important, but I had failed to consider another area essential to healthy ministry—emotional strength.
I was so emotionally depleted I couldn’t even discern the activity or the call of God on my life. I needed a third gauge on the dashboard of my life.
Throughout a given week of ministry, I slowly began to realize, certain activities drain my emotional reservoir. I now call these experiences IMA’s—Intensive Ministry Activities.
An IMA may be a confrontation, an intense counseling session, an exhausting teaching session, or a board meeting about significant financial decisions. Preparing and delivering a message on a sensitive topic, which requires extensive research and thought, for instance, wears me down.
An IMA may be a confrontation, an intense counseling session, an exhausting teaching session, or a board meeting about significant financial decisions. Preparing and delivering a message on a sensitive topic, which requires extensive research and thought, for instance, wears me down.
The common denominator of these activities is that they sap you, even in only a few hours. Every leader constantly takes on IMA’s. I didn’t realize, however, that I could gauge the degree of their impact on me. As a result, I was oblivious to the intense drain I was experiencing.
For example, many times while driving home from church, I would feel thin in my spirit. Sensing something wrong, I would examine my two trusted gauges.
In the spiritual area, I’d scrutinize myself: Did you give out the Word of God as best you knew how? Did you pray? Did you fast? Did you prepare? Were you accurate? Did the elders affirm the message?
If that gauge read normal, I would proceed to the physical area: Have you kept to your diet? Yes. Have you been working out? Yes. I must be okay. Buck up, Bill. But something was wrong. I needed that third gauge—an emotional monitor—to determine my ministry fitness.
Often we attribute our discouragement to spiritual weakness. We berate ourselves: “I’m a bad Christian,” or “I’m a lousy disciple.”
And sometimes our problem does signal that we are not rightly connected to Christ. Yet some problems in ministry stem not from spiritual lapses but from emotional emptiness.
I have now committed myself to installing an emotional gauge in the center of my dashboard and learning how to read it. I take responsibility to manage the emotional reservoir in my life.
When my crisis hit, I didn’t realize my reservoir was depleted until I (1) began to feel vulnerable morally, (2) found myself getting short and testy with people, and (3) felt a desire to get out of God’s work. Suddenly I knew the tank was nearly dry.
Now my goal is to monitor my emotional resources so I don’t reach that point. What signals do I look for? If I drive away from a ministry activity and say, “It would be fine if I never did that again,” that’s a warning signal. Something is wrong when I look at people as interruptions or see ministry as a chore.
Another indicator: on the way home, do I consciously hope Lynne isn’t having a problem and my kids don’t want anything from me? That’s a sign I don’t have enough left to give. When I hope that the precious people in my life can exist without me, that’s a sign of real trouble.
A third check for me is how I approach the spiritual disciplines. I journal and write my prayers. For months I found myself saying, day after day, “I don’t have the energy to do this.” I journaled anyway, but more mechanically than authentically. I dislike myself when my Christianity is on autopilot.
Each person has to find the warning signals for his or her own life. But after an intense ministry activity, it helps to ask some questions of yourself: Am I out of gas emotionally? Can I not stand the thought of relating to people right now? Do I feel the urge to take a long walk with no destination in mind? Am l feeling the need to go home, put on music, and let the Lord recharge my emotional batteries?
My next discovery was humiliating. I found that when my emotional fuel was low, I couldn’t do an Indy pit stop and get a fast refill. Replenishing emotional strength takes time—usually more time than it took to drain.
The best analogy I can offer is a car battery. If you sit in a parking lot and run all your car’s accessories—radio, headlights, heater, horn, rear defogger, power windows—you can probably sap that battery in about ten minutes. After that massive drain, suppose you then take the battery to a service station and say, “I’d like this battery charged. I’ll be back to pick it up in ten minutes.”
What would they tell you? “No, we’re going to put the batteryvon our overnight charger. It’s going to take seven or eight hours to bring it all the way back up.” It has to be recharged slowly or else the battery will be damaged. A slow, consistent charge is the best way to bring a battery back to full power. Likewise, to properly recuperate from an emotionally draining activity takes time.
When I first learned I couldn’t get a quick emotional recharge, I shared my frustration about that with another pastor friend. He said, “Bill, you have found a rule you’re not an exception to. You can fast and study the Scriptures and lift weights and do whatever you want, but there’s no shortcut to rebuilding yourself emotionally. A massive drain requires a slow and steady recharge.”
That discouraged me. I looked at my average week, and almost every day had an intense ministry activity—preparing a message, delivering a message, meeting with elders, or making some tough decision. I would find little snatches of refreshment during the week, but I finished most weeks with an emotional deficit. Then my family wanted me to have some fun and exciting things planned for them, but I was totally depleted. I’m going to overload the circuitry, I said to myself. One day I’m going to find myself in the proverbial fetal position.
It has been humbling to take an accurate, honest reading of my emotional gauges. When I see my emotional gauge is reading low, I take time to recharge. Some people recharge by running, others by taking a bath, others by reading, others by listening to music. Usually it means doing something totally unrelated to ministry—golfing, motorcycling, woodcarving. The important thing is to build a ministry schedule that allows adequate time for emotional recharging.
I’ve learned a second thing about maintaining emotional resources for ministry. The use of your major spiritual gift breathes life back into you. When you have identified your spiritual gifts and use them under the direction of Jesus Christ, you make a difference. You feel the affirmation of God, and many times you feel more energized after service than before.
I think of when Jesus had that important conversation with the woman at the well. The Twelve came back from buying food and said: “Jesus, you must be famished. We had lunch, and you’ve just worked through your lunch hour.” Jesus responded: “I’ve had a meal. I had food you’re not aware of. I was used by my Father to connect with a woman who was in trouble.” Jesus found that doing what the Father had called him to do was utterly fulfilling.
Conversely, serving outside your gift area tends to drain you. If I were asked to sing or assist with accounting, it would be a long hike uphill. I wouldn’t feel the affirmation of the Spirit, because I wouldn’t be serving as I have been gifted and called to serve. This is why many people bail out of various types of Christian service: they aren’t in the right yoke.
The principle is self-evident, but unwittingly I had allowed myself to be pulled away from using my strongest gifts.
About the time Willow Creek was founded, I conducted an honest analysis of my spiritual gifts. My top gift was leadership. My second gift was evangelism. Down the list were teaching and administration.
I immediately asked two people with well-developed teaching gifts to be primary teachers for the new congregation. God had given me a teaching gift, but it was far enough down the list that I had to work very hard at teaching—harder than a gifted teacher does.
Both people declined to teach, however, and we had already set our starting date. I remember thinking, Okay, God, I’ll start as primary teacher, but I’m doing it reluctantly. Please bring a teacher and let me lead and evangelize as you have gifted and called me to do.
Recently, when I hit emotional bottom, I decided to do another gift analysis. The results were exactly the same as eighteen years before: leadership and evangelism above teaching and administration. But as I thought about my weekly responsibilities, I realized I was using teaching as though it were my top gift. Seldom was I devoting time to leadership or evangelism.
I have talked with well-respected teachers across the country, and I have never had one tell me that it takes him more than five to ten hours to prepare a sermon. They have strong teaching gifts, so it comes naturally and quickly to them. If I, on the other hand, don’t devote twenty hours to a message, I’m embarrassed by the result. I was willing to put in those hours, but slowly and surely, the time demand squeezed out opportunities to use my gifts in leadership and evangelism.
In order to adequately prepare my messages, I had delegated away almost all leadership responsibilities. And too often in elder or staff meetings, I was mentally preoccupied with my next message. My life became consumed by the use of my teaching gift, which wasn’t my most fruitful or fulfilling ministry. Yet people kept saying, “Great message, Bill,” and I wrongfully allowed their affirmation to thwart my better judgment.
Since realizing this, we have implemented a team-teaching approach at Willow Creek. It has been well received by the congregation and has allowed me to provide stronger leadership in several areas. It would be difficult for me to describe how much more fulfilled I’m feeling these days.
I have also found new opportunities for evangelism. Recently I met with three guys at an airport. One is a Christian, and the other two are his best friends, whom he is trying to lead to Christ. As we talked, I could feel the Holy Spirit at work. After our conversation ended, I ran to my gate, and I almost started crying. I love doing this, I thought. This is such a big part of who I am. I used to lead people to Christ, but I’ve been preparing so many messages in the past five years that I’ve forgotten how thrilling it is to share Christ informally with lost people.
If I’m using a third– or fourth-level gift a lot, I shouldn’t be surprised if I don’t feel emotional energy for ministry. We operate with more energy when we’re able to exercise our primary gifts. God knew what he was doing as he distributed gifts for service. As we minister in a way that is consistent with the way God made us, we will find new passion for ministry.
Finally, becoming emotionally depleted re-taught me a lesson I had learned but forgotten. I learned the hard way that a Christian leader has to strike a delicate balance between involvement in the eternal and involvement in the mundane. The daily things of life provide needed counterweight to timeless truths.
When we started the church in 1975, I had discretionary time that I used to race motorcycles, fly a plane, golf, and ski. I had relationships outside the congregation and interests other than the church.
Since that time, the needs of the church inexorably squeezed out these earthly pursuits. I became consumed with the eternal. I’m an early riser, so from 5:30 in the morning until I crash at 10:30 at night, barely one moment of time is not related to something eternal. I don’t exercise at the YMCA anymore; I work out on equipment in my basement. While I’m cycling I read theological journals. When I pump weights, I listen to tapes or think of illustrations for a message. The eternal co-opted the daily routines.
In Jesus’ day, people approached life differently. In the Bible, after Jesus ministers or delivers an important discourse, usually you’ll find a phrase like this: “Then Jesus and the disciples went from Judea into Galilee.” Those small phrases are highly significant. Such journeys were usually many miles long, and most of the time Jesus and his disciples walked. You don’t take a multi-mile walk over a lunch break.
What happens on a long walk? Guys tell a few jokes, stop and rest awhile, pick some fruit and drink some water, take a siesta in the afternoon, and then keep going. All this time, emotional reserves are being replenished, and the delicate balance between the eternal and the mundane is being restored.
It’s a different world today, and I wasn’t properly aware of the changes. Put car phones and fax machines and jet airplanes into the system, and suddenly the naturally forced times for the mundane disappear.
Recently I made a commitment to speak in northern Michigan. Later the person who invited me called back and asked, ”Can you give two talks while you’re here?” I agreed. He called back several weeks later and said, “Bill, we need you to give three talks while you’re here, and if you could meet with some of our people for breakfast, that would be great, too.”
“How am I going to get there in time?” I asked. ”We’ll send a plane for you.” Not too long after that call, another person called me from Texas. ”Bill,” he said, “I’m in deep weeds. I’ve got a thousand college kids coming, and the speaker we had lined up bailed out. Most of these kids have read your book Too Busy Not to Pray, and we built the whole thing around your book. Could you help us out?”
“When is it?” I asked. He told me, and I said, “I don’t think that’s going to work, because I’m going to be in northern Michigan that morning.” He asked, “How are you getting there?” ”This guy’s sending a plane,” I said. He said, “Well, could you call the guy and see if the plane could bring you down here?”
The result was that I got on a plane at 7:00 on a Friday morning and flew to northern Michigan, met with the leaders, gave three talks, and had a meeting over lunch. Then I got back in the plane and flew all the way to southern Texas, with a person pumping me for information most of the time. I met with another set of leaders over dinner, gave two talks, got back on the plane, and arrived home at 1 A.M. Saturday morning. Then I preached Saturday evening and twice on Sunday morning.
The point is that spiritually, I was fine—I had maintained my disciplines and was striving to obey Christ. Physically, I held up fine—it wasn’t like running a marathon. But I was totally depleted emotionally. I was filling my life chock full of eternal opportunities.
What’s wrong with that? Besides the emotional drain, I realized two other hidden costs of such a ministry-centered lifestyle.
First, if you are concerned only with spiritual activities, you tend to lose sight of the hopelessness of people apart from Christ. You’re never in their world.
Second, you lose your wonder of the church, of salvation, and of being part of the work of God. You can overload on eternal tasks to the point that you no longer appreciate their glories.
I should have known this, because what has saved my ministry are my summer study breaks. During those weeks away, in between studying, I jog or sail, often with non-believers. That’s when I feel a renewed compassion for them, for I see afresh the hopelessness and self-destructiveness of life outside of Christ. During these breaks I also start missing worship at our church, and I begin craving relationships with the staff and elders.
Having enough of the mundane in my life makes me see the futility of the world and the wonder and delights of the Christian life. I cannot continue to work seventy– and eighty-hour weeks for many reasons, not the least of which is that they don’t allow enough time to be away from the church so that I love it when I come to it.
Knowing this, I have renewed my commitment to integrate into my life more activities that are not church related. I’m golfing more. I recently enrolled in a formula racing school and learned to drive race cars. This past summer I learned how to barefoot ski. I want to fly airplanes. If I don’t schedule these things—if I wait till my calendar opens up—they don’t happen.
In Christian ministry the needs of people are endless. At a certain point I have to tell myself, Bill, you had better wake up to the fact that you’re not going to get all your work done. It will be there tomorrow. I’m determining to live a healthy life so that I can offer more than a few short years of frenzied activity.
My goal is to monitor my spiritual, physical, and emotional resources so that I can minister, by God’s grace, for a lifetime.
I often think of Billy Graham, who has been a high-integrity leader for the cause of Jesus Christ for forty-five years. He’s humble, pure-hearted, and self-effacing, and every day he draws on the sufficiency of Christ.
It was a penetrating thought for me to think, What if God wants to elongate my ministry? If God does’ t change his call in my life, can I continue to live at my current pace for another twenty years? I knew I couldn’t.
I’m convinced God wants us to live so as to finish the race we’ve started. That’s the challenge of every Christian leader. And monitoring all three gauges— spiritual, physical, and emotional—plays an important part in our longevity.
Source: Bill Hybels
Here’s something I’ve learned that I think you need to know as well — there is no substitute for integrity. I don’t care how great, how anointed, or how talented you are, nothing replaces integrity.
In a day when talent and status seems to be at such a high premium, if you’re faking in your walk with God, we’re going to find out! Oh and by the way, God already knows.
HERE’S THE KEY —
The key to growth, fruitfulness and fulfillment in Jesus Christ and in life, is absolute integrity of heart before God. Did you get that? It’s not how well you can sing, it’s not how great you can perform, and it’s certainly not how powerful you can preach. It’s having a heart of integrity before God.
We all are way too familiar with the casualty list of those who felt their gifts and anointings gave them license to fudge in the integrity department. I’m flabbergasted every time. What causes a person to believe they can be relatively true to the message they preach or sing to others? The Word is clear friend, our sins will be found out.
Let me make another statement and let’s see how it strikes you… The key to growth and fulfillment in Christ is not the Bible.
Now before you leave me and start surfing the web again, hear me out. You cannot grow without the Word of God, but it is not the primary key. There are many people who study the Word, who do not have a heart for Him. The pharisees were very knowledgeable of the Law, yet Jesus said they were full of dead men’s bones on the inside.
Integrity is the single most foremost factor you must come to terms with in your own life. By integrity, I’m talking about wholeness of heart toward God, not holiness. Holiness flows from wholeness, but the essence of integrity is completion.
David did some very unwise and sinful things in his lifetime, but it is said of him that he had a “heart after God’s.” In Psalm 25, he said, “Let integrity and uprightness preserve me.” Thank God! That means integrity is not perfection.
Make sure you absorb this point. To be a person of integrity does not mean you’re perfect, just like David was not perfect. It does mean you’re wide open, totally honest, with nothing hid before God. A person of integrity does not fake it — even with God!
In the next chapter he says, “Vindicate me, O Lord, For I have walked in my integrity. I have also trusted in the Lord; I shall not slip.” (Psalm 26:1 (NKJV)
Did you see that? If we walk in integrity and trust the Lord, our steps will not lose their footing and God will be our vindication. True integrity means never having to fight for your own reputation! God’s got your back!
The Hebrew word used here for integrity is tawm, meaning complete. The simplest illustration in our own language would be the word integer, meaning a whole number. In other words, not a fraction!
Integer and integrity are related terms in our language, and the concept in Hebrew is the same—wholeness or completeness. It means I am not splintered by double-mindedness, nor compromised or eroded by personal dishonesty with myself.
Integrity is derived from a mathematical term meaning “a whole number.”
Once a number is fractioned, or divided, it is no longer a whole number. I’ve often told our church 99.9% truth is a lie. Why? It’s only a fraction of the truth!
Are you living in true integrity? If so, your feet will not slip and God will vindicate you.
Here’s a few integrity points I’d like to leave you with:
I’d like to start by giving you a 20 second test. Are you ready for that? I know you were simply surfing by and landed on my blog. The last thing you intended to do was take a test; but humor me.
Time yourself…20 seconds…ready? Here’s the question: When I say “Go,” you’ve got 20 seconds to write the titles of up to 5 sermon titles that have impacted your life. At the end of 20 seconds, stop wherever you are. Start immediately and don’t cheat now, or you’ll miss the effect. I’m trusting you. Are you ready? Go!
(20 seconds later) Well? How’d you do?
I tell you what, before we continue, let’s take another 20 second test. This time, when I say “Go,” you’ve got 20 seconds to write down the names of up to 5 people who have impacted your life. Once again, I’m trusting you. Are you ready? Go!
(20 seconds later) How did you do on that part?
Let me ask you this — how many sermon titles did you write down in 20 seconds? When doing this in seminars and other teaching settings, the average amount of titles I find written is 2 to 3.
But now let me ask you — how many people did you write down in 20 seconds? Without question, every time I do this in a teaching setting the majority of the people present have 5 names written down.
Think about that. Over your lifetime you have heard sermons that have inspired and challenged you. But when I asked for a quick response, you couldn’t recall 5 titles. However, people’s names come quickly.
What’s my point? CHRISTIANITY IS CAUGHT, NOT TAUGHT.
After 25 years of ministry, I’ve finally learned that it is not the words I say in the pulpit, but the life I live day-in-day-out. It is the Gospel lived out in shoe leather, rather than that preached out of book leather, that most impacts people’s lives.
I love preaching. Listening to great preaching is a high form of entertainment for me. Give me a master orator, who can bring the Word with life, revelation, humor and intrigue, and I’m totally mesmerized. But a few months later, don’t ask me the sermon title. I can’t recall. That moment is over.
On the other hand, ask me about Eddie Lowery. Eddie was my Boy Scout troop leader when I was a Junior High teen. Eddie lived a Godly Christian life in front of me and my pals and I’ll never forget him.
He let me work at his gas station once or twice on a Saturday. This was back in the day when a gas station was a gas station, not a department store. A full-service station meant you never had to get out of your car. I pumped gas, cleaned windshields, checked the fluids under the hood,and got to run the manual credit card machine that made the “shick-shick” sound as you pulled the handle back and forth. If you wanted gum, I’d have to give you the piece I was chewing. We only sold gas and oil.
There’s been other men and women who’ve also impacted me far beyond any sermon I’ve ever heard. The list is too long for a blog, but the results are the same. Each person invested time and interest in me. They walked out the Word. They encouraged me and shared life-lessons. They made sure I knew they cared.
Let me say it again, Christianity is caught, not taught. Live a life that brings glory to God and is an example to others.
Nothing is more confusing than people who give good advice but set bad examples. Norman Vincent Peale
That is so true. Nothing negates the message and promise of the Word like an inconsistent life by the messenger. Don’t just tell me what to do, show me.
Areas to model:
a) Godly living.
Holiness is conformity to the character of God and obedience to the will of God. Rather than tell it, show others how passionate you are about Christ and how powerful the Christian by your own life.
b) Family first.
Abraham was chosen to be a blessing to the whole earth, but it was to begin in the simplest of ways. He started by putting family first.
He was called to teach his own household, who again would hand down the truth to their households. His being a blessing to the world depended on his being a blessing to his own home.
The list of casualties in pastors’ homes is too long and painful to think about. I have made a self-covenant that I will not lose my family while trying to when other families to the Lord.
c) Ministry excellence.
The first step to equipping others is excellence in ministry. I am of the belief that excellence honors God.
So I’m going to continue to work on my sermon delivery and style. I’ll keep studying and striving to be the best I can be in the pulpit. But along the way, I’m going to make sure I’m walking out what I’ve been talking about. Because I now know I will reach more by how I live than by what I say.
It’s the Gospel in shoe leather, rather than book leather, that will truly touch our world.
It’s my prayer that some day someone will list my name when they take the 20 Second Test.
source: Scott Jones
Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.
Amsal 3:5
Suatu hari, Kerry Shook, penulis buku "One Month to Live" mengajak putranya bermain ke taman. Begitu sampai di taman, putranya Josh langsung berlari ke arah permainan yang paling di sukainya, sebuah palang untuk bergantung.
"Tolong angkat aku untuk bergantung di palang ini," demikian pintanya pada sang Ayah.
Kerry lalu mangangkatnya, dan tangan kecil Josh langsung berpegang erat pada palang tersebut tanpa dipegang lagi oleh ayahnya.
Kaki kecilnya bergantung sekitar 5 kaki di atas tanah, dan Josh terlihat begitu bangga bisa kuat bergantung disana. Sekitar beberapa menit kemudian, dia mulai lelah dan meminta di turunkan.
"Ayah, tolong turunkan saya."
Ayahnya menjawab,"Josh, lepaskan saja peganganmu dan aku akan menangkapmu."
Terlihat segurat keraguan di wajahnya, dia berkata,"Tidak, turunkan aku."
Kembali Kerry berkata,"Josh, jika kamu lepaskan peganganmu, aku akan menangkapmu."
"Tidak, turunkan aku."
"Josh, aku mencintaimu. Aku janji, aku akan menangkapmu."
Bagi Kerry ini adalah kesempatan untuk mengajar Josh bahwa dia bisa mempercayai ayahnya. Josh hanya perlu melepaskan pegangan pada palang itu, dan ayahnya akan menangkapnya. Tetapi pria kecil itu bertahan dengan seluruh kekuatannya bergantung di palang itu. Dia berpegangan hingga tangannya mulai kelelahan dan tidak bisa bertahan lagi. Akhirnya dia lepaskan pegangannya dan dia ditangkap oleh ayahnya.
Sebuah senyum mengembang diwajahnya, dia diturunkan ke tanah oleh ayahnya dan langsung berlari untuk bermain ayunan.
Pelajaran untuk Josh telah selesai, namun ayahnya, Kerry tiba-tiba mendengar suara Tuhan dengan jelas yang berbicara kepadanya.
Seperti itulah hubunganmu denganKu. Kamu sering berpegangan dengan suatu keputusasaan pada palang kehidupanmu, coba melakukan sesuatu dengan kekuatanmu sendiri. Kamu mengalami pergumulan yang tiada akhir, mencoba mengendalikan semua situasi. Kamu bertahan dan berpikir bahwa tidak ada orang yang akan menangkapmu sehingga kamu pikir lebih baik kamu bertahan di palang tersebut dan mempererat pegangan. Ketika kamu lelah bergantung, dan tanganmu mulai lemah, Aku berkata, "Lepaskan pegangan, dan Aku akan menangkapmu. Lepaskan peganganmu. Aku janji, Aku mencintaimu dan akan menangkapmu.
Seringkali kita mencoba mengerjakan segala sesuatu dengan kekuatan kita sendiri, berpikir sebaiknya kita kekiri, ketika Tuhan berkata ke kanan.
Hari ini Dia berkata, "Aku membentukmu dengan tanganKu sendiri. Aku menciptakanmu dengan sebuah tujuan, dan Aku mati untuk menebusmu. Mengapa kamu tidak bisa mempercayaiKu? Aku memberikan hidupKu untukmu. Aku Tuhan atas alam semesta ini. Kamu hanya perlu melepas peganganmu, dan Aku akan menangkapmu."
Bapa sorgawi ingin Anda dan saya untuk mempercayainya. Jika Anda berkeras untuk mengendalikan keadaan Anda sendiri, berjuang dengan kekuatan Anda sendiri, merencakan apa yang baik menurut pikiran Anda sendiri, Anda akan kelelahan. Anda akan kehabisan daya.
Ini adalah saatnya Anda mengambil sebuah resiko untuk melepaskan pegangan Anda. Ini saatnya untuk mengalami kuasa Tuhan bagaimana Dia menyatakan mukjizatnya dalam hidup Anda bahkan pada bagian-bagian yang tidak pernah Anda pikirkan sebelumnya.
Mempercayai Tuhan membutuhkan keberanian, hal itu di butuhkan iman. Namun mempercayai Tuhan tidak akan pernah merugikan. Memang, jantung Anda akan sedikit deg-degan, tapi percayalah Dia selalu tepat waktu dan tidak mungkin meleset untuk menangkap Anda. Waktu Tuhan selalu indah, dan Dia dapat dipercaya.
sumber:jawaban.com
Akibat-akibatnya dapat menghancurkan, tidak hanya bagi Gereja, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. CBN News berbicara dengan orang-orang muda secara acak di pantai: CBN News: Bisakah Anda menyebutkan tiga dari 10 perintah kepada saya? Kepada seorang pemudi, kami bertanya, "Apakah menurut Anda, Anda bisa masuk Surga dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik?" Masyarakat Yang Buta Alkitab "Saya tidak berpikir bahwa Ia tanpa dosa," seorang pria berkata mengenai Yesus. "Jika Anda buta Alkitab, Anda akan jatuh ke setiap jenis dosa, dan setiap masalah dan itu adalah masalah dari bangsa kita," uajr Dr. Vinson Synan, dekan emeritus dari Regent University School of Divinity. "Jika Anda mengetahui Alkitab, jika Anda mengetahui Sepuluh Perinta Tuhan, itu semua adalah peringatan-peringatan hidup, hingga kita bisa menjalani kehidupan yang indah," tambahnya. Terbuka kepada Dusta? "Jika Anda menyingkirkan kebenaran, Anda melangkah ke dunia akan kebohongan dan pada akhirnya, Anda berpikir Anda berjalan bersama Tuhan tetapi Anda tidak berjalan dengan Tuhan," ujar Lou. Lou Engle menegaskan bahwa ada bahaya besar dengan menjadi "spiritual" tetapi tidak mengetahui Firman Tuhan. "Yesus mengatakan, ‘Ada tertulis' ketika ia digoda! Generasi ini harus mengatakan, ‘Ada tertulis.' Harus diketahui akan Firman itu jika mereka ingin mengalahkan musuh!" Ketika ditanyakan apakah ia membaca Alkitab, seorang pemuda di pantai mengatakan, "Saya memang membaca Alkitab. Saya rasa itu adalah hal baik untuk mendasarkan hidup Anda kepadanya." Kami juga bertanya kepada yang lainnya apakah penting bagi seorang muda untuk mengetahui Firman Tuhan? "Itu bisa sangat menolong Anda. Jika Anda tidak berdiri untuk sesuatu, Anda bisa jatuh karena hal apapun," seorang wanita muda merespon. Tetapi sekarang, kebanyakan Kristiani tampaknya jatuh untuk budaya populer. Contohnya, perceraian sudah menjadi hal yang biasa di rumah-rumah Kristiani seperti yang non-Kristiani. Dan bertumbuhnya jumlah evangelikal yang mendukung pernikahan sesama jenis. "Apa yang kita temukan adalah sebuah generasi yang telah diajarkan relativitas moral," ujar Engle. "Pastor-pastor kami dipenuhi dengan relativitas moral karena mereka belum mengajarkan mengenai kebenaran Firman Tuhan atas generasi ini." Kekeringan Firman Dr. Synan mengatakan masalah sebenarnya adalah kelaparan - bukan sebuah kelaparan akan makanan, tetapi kelaparan akan Firman Tuhan. "Amos pasal 8 mengatakan kepada kita bahwa akan tiba waktunya, akan terjadi kelaparan, bukan kelaparan akan roti atau haus akan air, tetapi akan mendengar Firman dari Tuhan," ujarnya. "Bagian tersedih adalah para gadis dan pemuda akan pingsan karena kehausan," ujarnya. "Itu tidak menunjuk kepada generasi yang lebih tua, tetapi menunjuk kepada orang muda. Mereka idealis. Orang-orang muda membutuhkan sesuatu untuk dihidupi dan satu-satunya hal yang dapat memuaskan kelaparan, adalah Firman Tuhan."
Pemuda: Nope.
CBN News: Bisakah Anda menyebutkan satu dari 10 perintah kepada saya?
Pemuda: Nope.
"Bisakah Anda menyebutkan nama kitab pertama dari Alkitab?" kami bertanya kepada pemuda lainnya. "Perjanjian," jawabnya.
"Saya pikir ada mutiara-mutiara di Surga, seperti bonus point, you know," jawabnya.
Sangatlah jelas bahwa kebanyakan warga Amerika - termasuk warga Kristianinya yang tidak mengetahui Alkitab mereka. Lihatlah angka-angka dari studi terbaru:
• Lebih dari 60 persen warga Amerika tidak bisa menyebutkan setengah dari 10 Perintah Tuhan atau empat Injil dari Perjanjian Baru.
• Delapan puluh persen termasuk yang "lahir baru" Kristian mempercayai bahwa "Tuhan menolong orang-orang yang menolong diri mereka sendiri" adalah kalimat langsung yang ada di Alkitab.
• Dan 31 persen darinya mempercayai bahwa orang baik bisa memiliki jalannya sendiri ke Surga.
Menurut studi George Barna terbaru, kebanyakan yang mengklaim sebagai Kristiani tidak mempercayai bahwa setan atau Roh Kudus itu eksis. Dan meskipun Alkitab sudah sangat jelas mengenai sifat dasar Kristus yang tanpa dosa, 22 persen mempercayai bahwa Yesus pernah berdosa selama ia di dunia.
"Atas dasar percaya apa," kami bertanya.
"Opini saya," ujarnya.
Lou Engle, pendiri kegerakan doa The Call mengatakan tidak mengetahui kebenaran mudah membuat orang tersebut diserang dusta.
Engle juga menunjukkan jarinya kepada para orang-tua. "Itu adalah para ayah dan para ibu. Keluarga adalah akar dari sebuah bangsa. Jika Anda tidak mengajarkan anak-anak kebenaran, maka kita akan kehilangan itu," ujarnya. "Dimulai dari situlah bermula dari para pastor dan masyarakat."
Sumber : jawaban.com
Salah satu definisi kekudusan adalah berada dalam keadaan murni. Dalam bahasa Ibrani, kudus adalah "kadosh" artinya naik lebih tinggi. Dalam bahasa Inggris, definisi kudus adalah "cut above" artinya di atas rata-rata. Tuhan memanggil kita untuk naik ke standar-Nya, untuk hidup sebagaimana Dia hidup dan berpikir sebagaimana Dia berpikir. Inilah panggilan Tuhan bagi gereja-Nya: "Kuduslah kamu, sebab Aku kudus".
Orang yang sombong berpikir bahwa ia dapat mencapai kekudusan dengan mengandalkan kekuatannya untuk mentaati berbagai peraturan. Sebaliknya, orang yang rendah hati tahu bahwa ia tidak dapat mencapainya. Ia bergantung pada anugerah dan kekuatan Allah; dan Allah memberikan anugerah kepada orang yang rendah hati. Kekudusan adalah pekerjaan anugerah Allah, bukan hasil kekuatan daging. Sebab tanpa kasih karunia Tuhan, tidak ada orang yang mampu hidup dalam kekudusan. Namun demikian, seringkali kita berpikir, apakah mungkin hidup kudus?
Roma 12:1"Karena itu, saudara-saudara demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati."Dalam alkitab versi NKJ, "ibadahmu yang sejati" dikatakan sebagai ''your reasonable service". Reasonable artinya dapat dijangkau, berada dalam jangkauan kemampuan. Dengan kata lain, hidup dalam kekudusan adalah kehidupan yang dapat dijangkau dan merupakan kehidupan Kristen rata-rata, bukan sesuatu yang mustahil. Nah, bagaimana kita dapat hidup dalam kekudusan?
1. Hidup Dalam Takut Dan Hormat Akan Tuhan
Ibrani 12:28Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.2. Belajar Firman Tuhan
Belajar firman Tuhan sebab Firman adalah ilham Allah.
2 Timotius 3:16Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.Dalam bahasa Gerika, ilham adalah "Teos neuma" artinya nafas Allah.
3. Memperbarui Pikiran Dengan Firman
Roma 12:2Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.Dalam bahasa Inggrisnya "be transformed" artinya menyeberang dari dunia, naik ke tempat yang lebih tinggi. Sekalipun kita hidup di dunia, tetapi berjuang untuk bersikap sama seperti Tuhan.
4. Fokus Pada Karakter Tuhan Dan Bukan Pada Peraturan-Nya
Karena peraturan mematikan, tetapi karakter dan kasih karunia-Nya memampukan kita hidup kudus. Law gives you the picture of holiness, but grace gives you the power to live holy.
Ketika Tuhan memberi perintah, maka Dia juga akan memberikan kasih karunia-Nya agar kita mampu melakukan perintah-Nya. Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.
sumber: Indri Gautama
Semua orang pasti rindu bertumbuh. Ada banyak orang yang ingin sekali bisa bertumbuh tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya sehingga mereka sendiri tidak bisa bertumbuh. Supaya dapat bertumbuh, kita perlu mengikuti tiga langkah dan urutannya mesti sesuai, tidak boleh di bolak-balik.
Untuk bisa bertumbuh, kita perlu mengenal Allah. Karena kalau kita tidak mengenal Dia, kita tidak bisa dekat sama Tuhan. Kita tidak bisa tahu siapa Allah kita sebelum kita mengenal Dia. Karena itu sangat penting bagi kita untuk mengenal Dia.
Setelah mengenal, baru kita bisa mengasihi Allah. Orang Indonesia punya pepatah ‘tak kenal maka tak sayang'. Jadi kalau kita tidak mengenal Allah, kita tidak bisa mengasihi Allah. Makin kita mengenal Allah, makin kita mengasihi Allah. Jadi langkah pertama itu penting sekali, mengenal dulu baru kita mengasihi. Semakin mengenal semakin mengasihi.
Kalau kita sudah mengasihi, baru kita ikut langkah yang ketiga namanya melayani. Kalau pelayanan itu adalah hasil dari kasih kita kepada Tuhan, pelayanan kita pasti dahsyat. Pelayanan kita akan menghasilkan buah, menghasilkan dampak. Gawatnya banyak orang percaya yang membalik langkah-langkah ini. Mereka tidak mengenal Allah dulu. Tidak mengasihi Allah dulu. Begitu mereka masuk gereja, disuruh melayani dulu. Mereka melayani tapi pelayanannya bukan hasil dari kasih. Akibatnya ketika menghadapi persoalan dan tantangan mereka pun mundur. Tadinya aktif melayani tapi sekarang tidak melayani lagi.
1. Mengenal Allah
Mengenal Allah itu penting sekali. Kalau kita tidak mengenal Allah, kita tidak bisa betul-betul percaya kepada Tuhan. Bagaimana kita bisa percaya kepada seseorang yang tidak kita kenal?
Yohanes 17:3Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.Ternyata hidup kekal itu adalah sama dengan mengenal Allah. Dulu saya berpikir hidup kekal itu adalah kalau kita ke gereja, kita dapat tiket masuk sorga. Saya pikir saya pasti masuk surga karena saya sudah ke gereja. Ternyata tidak! Ada orang yang rajin ke gereja tapi dia tidak pernah mengenal Allah. Karena sebenarnya hidup kekal itu ada melalui pengenalan kita akan Allah. Kalau pengenalannya salah, kita tidak akan masuk surga. Kalau pengenalannya benar baru kita masuk surga. Jadi mengenal Allah itu penting sekali. Ayat ini mengatakan, ‘Inilah hidup yang kekal itu, yaitu mereka mengenal Engkau satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus'. Jadi mengenal Allah itu berarti kita harus mengenal Yesus Kristus. Tapi jangan lupa, yang akan membawa kita kepada pengenalan akan Allah yang ‘satu-satunya' itu adalah melalui Yesus Kristus. Melalui Yesus Kristus kita di bawa kepada Bapa.
Mengenal Allah harus dimulai setelah kita diselamatkan oleh Tuhan Yesus dan kita harus mengenal Allah sebagai Bapa kita. Karena yang mengutus Yesus Kristus itu Bapa. Kita harus mengenal Bapa karena Yesus datang membawa kita kepada Bapa. Yesus bilang begini, ‘Akulah jalan, kehidupan dan kebenaran. Tanpa melalui Aku kamu tidak akan sampai kepada Bapa'.
Banyak dari kita yang belum mengenal Bapa. Saat ini Tuhan mau membawa kita untuk mengenal Allah sebagai Bapa. Karena kalau kita mengenal Allah sebagai Bapa, wuih dahsyat sekali!! Hidup kita berubah!! Kita bisa kuat atau tidak dalam menghadapi permasalahan hidup ini, itu tergantung dari bagaimana pengenalan kita akan Allah.
Sewaktu kita menghadapi persoalan, kalau kita tidak mengenal Tuhan, kita tidak bisa mempercayai Tuhan. Sehingga kita temukan banyak orang kalau ada persoalan, cari dukun, lari dari masalah, pergi meninggalkan masalah. Mereka tidak percaya sama Tuhan karena mereka tidak kenal Tuhan. Kalau kita mengenal Tuhan, kita tidak akan pernah cari dukun. Karena itu mengenal Allah itu sangat penting.
Kalau kita mengenal Tuhan, kita bisa mempercayakan diri kepadaNya. Percaya dengan mempercayakan diri adalah dua hal yang berbeda. Ada orang yang sampai pada tahap percaya saja. Itu bagus! Tapi tidak cukup sampai di situ. Kita juga harus mempercayakan diri. Contohnya seperti ini. Ada orang yang percaya sama Tuhan. Tapi ketika ada masalah, ia mempercayakan dirinya kepada dukun, kepada akal pikirannya sendiri. Nah, percaya dengan mempercayakan diri itu beda. Kalau kita percayanya benar, mempercayakan dirinya juga pasti benar. Bukti kepercayaan kita kepada Tuhan adalah kalau kita berani untuk mempercayakan diri kepadaNya. Kalau kita mengenal Bapa, memiliki pengalaman dengan Bapa, kita pasti akan berani untuk mempercayakan diri kita kepadaNya. Itulah sebabnya Tuhan mau kita mengenal Allah dan mengenalNya sebagai Bapa.
Kalau kita kenal Dia sebagai Bapa, itu merupakan hal yang sangat indah. Karena seorang ‘bapa' tahu semua kebutuhan kita. Seorang ‘bapa' itu mengerti apa yang menjadi kebutuhan anaknya. Tidak ada ‘bapa' yang anaknya memiliki kebutuhan tapi dia tidak tahu. Bapa kita di surga lebih hebat dari bapa kita yang ada di dunia ini. Alkitab bilang begini, ‘rambutmu sekalipun dihitungnya'. Waktu kita kecil, pernah tidak bapa kita menghitung rambut kita? Saya belum pernah melihat ada bapa yang berhasil menghitung rambut anaknya. Tapi Bapa kita yang di surga, sesibuk apapun Dia, Bapa masih sempat hitungin rambut! Itu hebatnya! Bahkan Dia bilang begini, ‘tidak ada sehelai rambutpun yang jatuh tanpa seijin Bapa'. Berarti satu helai rambut saja diurusin sama Bapa. Itu kebenaran yang luar biasa! Artinya Bapa betul-betul memperhatikan kita sampai hal-hal yang paling detail sekalipun. Bapa kita yang di surga memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan kita.
Kita mungkin mempercayai Allah sebagai Bapa. Tapi apakah kita pernah mengalaminya sebagai Bapa kita? Karena ada orang Kristen ‘katanya'. Mereka dalah orang-orang Kristen yang tidak pernah melihat atau mengalami Allah sebagai Bapa. Karena itu ada orang yang percaya kepada Tuhan tapi mereka tidak bisa mempercayakan diri. Karena mereka cuma percaya di pikiran saja. Untuk percaya di dalam hati, kita harus mengalami Tuhan dan memiliki pengalaman dengan Tuhan. Kalau kita sudah memiliki itu, barulah kita bisa masuk pada langkah yang kedua yaitu mengasihi Allah dan akhirnya melayani Dia.
Di dalam pengenalan kita akan Tuhan, kita harus mengalami dan memiliki pengalaman dengan Tuhan. Setelah kita sudah memiliki itu kita bisa melanjutkan pengenalan kita akan Allah dengan mengasihiNya dan akhirnya melayani Dia.
2. Mengasihi Bapa
Mengasihi Bapa merupakan hal yang paling penting karena merupakan hukum yang terbesar. Di dalam Firman Tuhan dikatakan hukum yang terbesar, yang terutama itu adalah kasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap pikiranmu, segenap jiwamu, segenap kekuatanmu. Artinya dengan segenap keberadaan saudara, kasihilah Tuhan!
Tapi sering kita tidak bisa mengasihi Tuhan karena kita kurang mengenal Dia. Kalau kita mengenal Tuhan, gampang bagi kita untuk mengasihiNya. Kalau engkau merasa sulit untuk mengasihi Tuhan, belajarlah mengenal Tuhan. Kasih yang kita terima dari Bapa membuat kita tidak hanya bisa mengasihi Tuhan, melainkan kita juga bisa saling mengasihi. Engkau rindu keluargamu berbahagia? Engkau mau supaya hidupmu bisa membangun hubungan? Kenallah Allah! Kalau engkau memiliki kasih dari surga itu, engkau bisa saling mengasihi. Karena memang kasih surgawi itu luar biasa.
Kasih Allah itu dahsyat. Bapa di surga sangat mengasihi kita anakNya. Suatu waktu saya memimpin retreat di Carita, Jawa Barat. Sewaktu saya khotbah, ada seorang ibu yang terus-menerus menangis tiada henti. Semua orang sudah selesai ibadah dan lagi makan siang, tapi ibu ini masuk ke kamar bersama beberapa temannya dan mereka berdoa.
Ibu ini baru dua bulan menjadi orang Kristen. 8 tahun yang lalu, sebelum dia menjadi orang Kristen, suatu hari dia jalan-jalan bersama anaknya di Jakarta. Anaknya itu nakal, umur 4 tahun. Sewaktu sedang berjalan-jalan, tiba-tiba anaknya melarikan diri, melepaskan pegangan tangannya dari ibunya. Anak itu kemudian lari. Anak ini namanya Daniel. Ibu ini kemudian mencari anaknya, Daniel, tapi tidak ketemu. Saudara tahu berapa lama ibu ini mencari anaknya? 8 tahun!! Dia terus mencari anaknya, memasukkan berita anaknya ke koran, lapor ke kantor polisi tapi anaknya tidak pernah ditemukan. Sampai suatu hari, setelah 8 tahun dia cari anaknya, rupanya dua bulan sebelum retreat itu dia percaya Yesus. Ibu ini kemudian di bawa ke retreat itu.
Waktu dia dengar saya khotbah tentang ‘Kasih Bapa', dia ingat anaknya. Hancurlah hatinya. Ketika dia sedang menangis, tiba-tiba di kamar itu ada suara yang mengatakan, "Nak, kamu sudah 8 tahun mencari anakmu tapi tidak ketemu. Tapi AKU, Bapamu, mengasihi engkau. Pulanglah nak sekarang ke Jakarta. Pergilah ke Monas karena engkau akan bertemu anakmu di Monas." Saudaraku, dia dengar suara ini untuk pertama kali setelah dia lahir baru. Dia tanya para pemimpinnya apakah ini benar suara Tuhan? Dan mereka semua yakin ini suara Tuhan.
Lalu ibu ini pulang ke Jakarta. Dari Carita dia pergi naik bis sendirian ke Monas. Saudara tahu Monas itu luas, di mana dia bisa ketemu anaknya? Dia mencari anaknya di Monas. Tiba-tiba ada suara lagi, "Nak, pergilah kamu ke bawah pohon beringin itu. Di bawah pohon itulah anakmu ada." Dia ikuti suara itu. Kemudian dia lihat di bawah pohon beringin itu ada seorang anak berumur 12 tahun. Kurus kering, ceking, penuh dengan penyakit kulit. Tidak ada lagi orang yang kenal anak ini. Rambutnya sudah seperti gembel. Anak ini juga tidak memakai sandal. Tetapi seorang ibu tidak pernah lupa sama anaknya. Ibu ini mengenali anak ini sebagai anaknya. Waktu dia lihat anak ini, dia panggil, "Daniel...!!!" Daniel lihat mamanya, dan dia langsung berteriak, "Mama...!!!!!" Mereka berpelukan untuk pertama kalinya setelah 8 tahun. Mamanya bilang, "Daniel, mama cari kamu 8 tahun. Kamu ke mana Daniel? Mama cari kamu, ke kantor polisi, masukin koran, mama tidak pernah menemukan kamu." Daniel bilang, "Mama, saya 8 tahun jadi gembel, hidup di jalanan, tapi saya masih hidup mama." Kisah ini sudah seperti cerita sinetron, tapi ini adalah kisah nyata.
Di surga sana ada Pribadi yang mengasihi kita. Mungkin engkau berkata, "Tuhan, apakah Engkau mengerti aku?" Dengar saudara, ada seorang Pribadi, tidak hanya mengerti saudara, tapi IA sangat mengasihi saudara. KasihNya itu luar biasa! Ibu ini telah mengalami kasih Bapa dan dia menjadi sangat mengasihi Tuhan. Setelah dia mengalami kasih Bapa, dia mengasihi Tuhan. Kalau kita sudah saling mengasihi, barulah kita bisa melayani dengan baik.
3. Melayani Allah
Yohanes 14:10,12(10) Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.(12) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa;Saya dulu berpikir kalau pelayanan itu adalah kita melakukan sesuatu untuk Tuhan. Ternyata bukan! Pelayanan itu adalah seperti yang tertulis di dalam Yohanes 14:10. Itu yang Yesus lakukan. Yesus itu adalah contoh untuk hidup kita. Yesus melayani bukan dengan Dia melakukan sesuatu buat Bapa. Bukan! Dia bilang begini, "Apa yang Aku dengar dari Bapa, itu yang Aku katakan. Apa yang Aku lihat Bapa lakukan, itu yang Aku lakukan." Dengan perkataan lain Dia bilang begini, "Bapalah yang melakukan pekerjaan Nya di dalam Aku."
Jadi pelayanan yang dahsyat itu bukan kita melakukan sesuatu untuk Tuhan melainkan Tuhan yang melakukan sesuatu melalui kita. Itu pelayanan yang dahsyat!
Melalui Yohanes 14:12 kita belajar bahwa pelayanan yang paling powerfull adalah kalau kita bisa menunjukkan Bapa ke dunia ini. Menunjukkan Bapa, seperti yang dikatakan oleh Filipus, "Tuhan Yesus, tunjukkan Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup." Dari kata-kata Filipus kita tahu bahwa perkataannya ini mewakili hati dunia ini. Di dalam dunia ini ada suatu kehausan, kevakuman di dalam hati manusia, ada suatu ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apapun kecuali mereka mengenal Bapa. Kalau mereka sudah mengenal Bapa, sudah cukuplah semuanya. Dunia perlu mengenal Bapa. Itulah sebabnya pelayanan yang paling dahsyat adalah memperkenalkan Bapa kepada dunia ini. Pelayanan yang paling efektif adalah menunjukkan Bapa seperti Yesus menunjukkan pekerjaan-pekerjaan Bapa.
Ada sepasang suami istri. Suatu kali, mereka bertemu dengan musuhnya yang sangat anti dengan orang Kristen. Ketika bertemu, anaknya ini dibunuh, dicincang di depan mereka. Kemudian musuh yang anti Kristen ini menangkap sang istri sedangkan suaminya sempat meloloskan diri. Istrinya dijadikan budak sex selama 18 bulan. Saya mau bertanya, kalau saudara ada di posisi mereka, apakah saudara bisa tahan? Waduh, belum tentu. Yang lebih mengenaskan suaminya melihat semua kejadian itu dan dia sulit sekali menerimanya.
Suatu hari istrinya menulis surat. Waktu kami baca suratnya, kami menangis. Istrinya menceritakan bagaimana hancur hatinya waktu menjadi budak sex selama 18 bulan itu. Tapi suatu hari karena suaminya yang terus berdoa dengan dukungan saudara-saudara seiman, melalui pertolongan Tuhan istrinya bisa keluar. Waktu istrinya keluar, dia sudah hamil. Dan anak yang ada di dalam kandungan itu adalah anak musuh mereka. Saya mau tanya, kalau saudara jadi suaminya, saudara bisa menerima istrimu kembali? Tidak gampang! Dan kami juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi ketika suami ini datang sama Bapa di surga, dia dijamah oleh kasih Bapa. Waktu dia dapat jamahan itu, dia datangi istrinya. Dia peluk istrinya dan bilang, "Mama, saya tidak hanya bisa terima kamu sebagai istri saya, tapi saya akan terima anak ini jadi anak saya. Tidak apa-apa meskipun ini anak dari musuh kita, musuh bebuyutan kita, musuh orang Kristen, tapi saya akan didik dia supaya nanti ketika dia besar kelak, dia akan menjadi seseorang yang bisa menginjili mereka-mereka itu".
Kalau ini bukan kasih Tuhan, tidak mungkin ada orang yang bisa melakukan hal ini. Apakah engkau mau mengenal Bapa yang sudah mengutus Yesus Kristus, anakNya itu? Selamat bertumbuh di dalam Tuhan!!
Sumber: Ir. Eddy Leo, M. TH.