Alkisah seorang pria yang sudah bertahun-tahun melajang berdoa kepada Tuhan. "Tuhan, mengapa hingga saat ini aku masih belum juga memiliki pasangan hidup?" katanya. Dengan lembut, Tuhan menjawab, "Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak pernah memintanya."
Si pemuda ini terdiam dan mengamini ucapan Tuhan. "Kalau begitu, dapatkah Engkau memberikan padaku pasangan yang selama ini aku idam-idamkan? Aku menginginkan pasangan yang baik hati, lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humoris, serta penuh perhatian. Aku percaya, Engkau adalah Tuhan yang Maha Pemurah, tentu Engkau akan mengabulkan doaku dan membuatnya indah pada waktunya," ujar si pemuda itu. Tuhan hanya tersenyum.
Seiring dengan berlalunya waktu, si pemuda ini menambahkan daftar kriteria pasangan hidup yang diinginkannya. Misalnya, ia menginginkan pasangannya itu seorang yang penurut, tidak pernah mengeluh, pandai mengasuh anak, pandai memasak, dan seterusnya.
Dalam sebuah doa malam, Tuhan datang menyapa si pemuda ini. "Anak-Ku, Aku tidak dapat memberikan kepadamu pasangan yang engkau inginkan," kata Tuhan dengan penuh kasih. "Mengapa Tuhan? Apakah Engkau marah kepadaku, Tuhan?" tanya si pemuda ini. "Tidak, sama sekali tidak!" kata Tuhan. "Lalu, mengapa tidak Engkau berikan saja, Tuhan?" tanya si pemuda dengan nada penasaran. Dengan lembut Tuhan menjawab, "Karena Aku adalah Tuhan yang Maha Adil. Aku adalah kebenaran dan segala yang Kulakukan adalah benar."
Penuh kebingungan pemuda ini kembali bertanya, "Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang kumohon?" Jawab Tuhan, "Aku akan menjelaskannya kepadamu. Adalah suatu ketidakadilan dan ketidakbenaran bagi-Ku untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagi-Ku untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni, tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang peka terhadap kebutuhanmu, namun engkau sendiri tidak peka terhadap kebutuhan sesama di sekitarmu."
Si pemuda ini hanya terdiam. "Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seorang pasangan hidup yang dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Pasanganmu itu akan berasal dari tulang rusukmu dan engkau akan melihat dirimu sendiri dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu. Aku tidak memberikan kepadamu pasangan yang sempurna karena engkau sendiri tidaklah sempurna. Namun, Aku akan memberikan kepadamu pasangan yang akan bertumbuh bersamamu menjadi insan yang lebih baik dari hari ke hari."
Apa hikmah yang bisa kita petik dari cerita di atas? Pertama, dalam hidup ini kita seringkali mengharapkan orang lain sempurna namun kita lupa bahwa diri kita pun bukanlah makhluk yang sempurna. Itulah sebabnya kita cenderung ingin agar orang lain berubah namun kita enggan merubah diri kita sendiri terlebih dahulu.
Kedua, dalam ketidaksempurnaan itu kita sebenarnya dapat saling mengasihi bahkan tumbuh bersama. Keadaan yang tidak sempurna inilah sebenarnya yang memungkinkan adanya "ruang" bagi perkembangan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya. Bayangkan jika semua orang di dunia ini penuh kasih sayang yang sempurna satu sama lain, tentu kita akan lebih sulit lagi menumbuhkan kualitas kasih dalam hati dan hidup kita. Justru di tengah situasi yang penuh dengan kebencian, kita memiliki peluang yang amat besar untuk menyebarkan kasih sayang kepada sesama.
Mengasihi versus Mencintai
Saya masih ingat pengalaman ketika memberikan training kepemimpinan di Denpasar, beberapa waktu lalu. Dalam training itu saya katakan betapa pentingnya relationship dalam leadership. Hal ini sangat logis. Bukankah kita tidak akan mengikuti kepemimpinan seseorang yang tidak kita sukai? Dan, dengan sangat jelas kita bisa melihat kondisi atau lingkungan kerja yang tidak menyenangkan karena orang-orang di dalam sebuah organisasi tersebut tidak mampu berhubungan baik.
Lebih lanjut saya mengatakan agar sebuah hubungan baik bisa terjalin, seorang pemimpin harus melihat orang-orang yang dipimpinnya sebagai pribadi yang harus dikasihi bukan dieksploitasi. Sayangnya, tidak sedikit pemimpin (terutama pemimpin bisnis) yang masih menganggap stafnya sebagai alat produksi alias mesin uang bagi kepentingan dirinya semata. Ironis!
Yang membuat hari itu begitu berkesan bagi saya adalah ketika salah seorang peserta menanyakan kepada saya, apa perbedaan antara mencintai dan mengasihi. Terus terang saya agak terkejut dengan pertanyaan semacam ini. Kemudian saya teringat kepada Yesus yang mengasihi murid-murid-Nya dengan begitu tulus dan tanpa syarat Yohanes mencatat bahwa Yesus senantiasa mengasihi murid-murid-Nya bahkan Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya (Yohanes 13:1). Dari gambaran itulah saya kemudian menjawab, "Kasih itu tidak bersyarat. Unconditional! Sementara cinta penuh dengan berbagai macam syarat."
Secara pribadi saya bukanlah tipe orang yang suka berdebat mengenai istilah namun dalam hal mencintai atau mengasihi, saya rasa, kita harus lebih banyak merenung dan bercermin diri. Sungguhkah saya mengasihi orang lain atau saya hanya mencintai mereka?
Sumber: Paulus Winarto